REALITA PENDIDIKAN INDONESIA, ALTERNATIF SOLUSINYA
OLEH : JUNAIDI PANUSUNAN, S.Pd.I, M.A
Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan
jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 % dari jumlah penduduk, jadi sekitar 1,2
juta jiwa. Hal ini tentunya dapat menjadi asset bangsa jika remaja dapat
menunjukkan potensi diri yang positif namun sebaliknya akan menjadi petaka jika
remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam
kenakalan remaja.
Hasil Penelitian BNN bekerja sama dengan UI
menunjukkan :
Angka kenakalan remaja di atas menjadi PR yang berat bagi dunia pendidikan,
oleh sebab itu pendidikan harus dapat mewarnai lintas sekotral dan lintas
masyarakat. Kurikulum pendidikan harus mampu memberikan pengaruh bukan hanya di
sekolah saja tapi sampai kedalam keluarga.
Dari segi kemampuan kognitif akademik, pada tahun 2015, dari hasil
studi PISA (Program for International Student Assessmen), menunjukkan
Indonesia baru mampu menduduki peringkat 69 dari 76 Negara, sedangkan dari
hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematik and Science Study)
Indonesia menduduki raking 36 dari 49 Negara. (www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-indonesia-masih-rendah-372187, diakses tanggal 26/03/2017)
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistim Pendidikan Nasional tahun
2003 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Amanat ini memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional bukan hanya
sekedar mencerdaskan anak banga secara intelektual, namun lebih dari itu yaitu
membimbing dan mengarahkan peserta didik agar cerdas secara emosional dan
spiritual, berkompetensi dan berdaya saing.
Cerdas secara intlektual adalah kemampuan peserta didik untuk dapat
memahami, merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memehami gagasan,
menggunakan bahasa, dan belajar. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_intelektual, di akses tanggal 20 Maret 2017). Cerdas secara emosional
kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi
dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada
perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan
(intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan
suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah
penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan
intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_emosional, diakses tanggal 20 Maret 2017)
Kecerdasan spiritual
(bahasa Inggris: spiritual quotient, disingkat SQ) adalah kecerdasan jiwa
yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ merupakan fasilitas
yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan
persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang
untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual
yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk
bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit,
mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan
hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai
hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna
hidupnya. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_spiritual,
diakses tanggal 20 maret 2017)
Dalam undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,
sebagai payung hukum bagi pelaksanaan tugas mendidik para guru dan dosen dijelaskan bahwa guru adalah pendidikan
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilaidan mengevaluasi peserta didik. (UU No 14 tahun 2005 pasal 1).
Dengan demikian, maka guru sebagai tenaga profesional harus memegan
tueguh prinsip profesionalitas diantaranya, memiliki bakat dan minat, panggilan
jiwa dan idealisme, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan,
keimmanan, ketakwaan, adan akhlak mulia (UU no 14 tahun 2005 pasal 7).
Dengan demikian, seharusnya guru mampu mengembangkan potensi
peserta didik dengan fokus kepada pengoptimalan tiga kecerdasan tersebut
diatas. Realitas yang ditemui pada pelaksanaan pembelajaran pada
sekolah-sekolah, guru lebih banyak fokus kepada pengembangan dan pengisian
kognitif peserta didik kemudian tidak memperhatikan bahkan banyak yang sampai
mengabaikan aspek kecerdasan emosi dan spiritual. Sehingga harapan dari tujuan
pendidikan nasional belum mampu wujud dengan baik.
Kurikulum 2013 mulai diterapkan pada sekolah-sekolah piloting
(2013-2015), kemudian diperluas dengan penerapan pada sekolah-sekolah sasaran
(mulai tahun 2016), secara teori merupakan solusi kurikulum Nasional yang dapat
mengembangkan dan melatih tiga kecerdasan diatas, dengan harapan terciptanya
generasi emas dangan kemampuan berfikir orde tinggi, yang kritis, terampil,
berakhlakul karimah.
Tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi Indonesia sangat berat,
pemberlakuan pasar bebas dunia, kemudian perkembangan tekhnologi informasi
dengan percepatan yang luar biasa, mau tidak mau harus menjadi bagian hidup
mereka. Satu sisi jika generasi muda tidak ”melek teknologi” maka mereka akan
di tinggalkan, sebaliknya jika mereka
mengikuti perkembangan teknologi maka pengaruh kebarat-baratan akan menjajah
cara berfikir generasi muda jika tidak dibentengi dengan kesadaran akan agama
dan norma-norma susila.
Namun
jika pelaksanaan pembelajaran masih konvensional, maka harapan menciptakan
generasi emas (gold generation) akan menjadi sekedar konsep yang hanya
banyak dibahas pada forum-forum bimtek dan seminar-seminar saja, dengan
demikian langkah konkrit walaupun itu sederhana tetapi berkesinambungan
dan konsisten justeru akan lebih
bermanfaat dan memberikan hasil akan harapan membimbing generasi yang
berkompetensi dan berdaya saing, sehat jasmani dan rohani. Tentu akan kembali
pada semangat apa yang di bangun oleh para guru dan seluruh stake holder,
sehingga apa yang menjadi harapan akan terwujud dengan baik.
DAFTAR BACAAN
(www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-indonesia-masih-rendah-372187
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_intelektual
http://kbbi.web.id/ajar
Sabri, A. 2005, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching,
Quantum Teaching, Jakarta
R. W. Dahar, 1989, Teori-teori Belajar, Jakarta, Erlangga.
Elias, Mourice J. 2001, Cara-cara efektif mengasuh anak dengan EQ :
Mengapa Penting Membina Disiplin Diri, Tanggung Jawab, Dan Kesehatan Emosional
Anak-Anak Pada Masa Kini (diterjemahkan M. Jauharul Fuad), Bandung : Kaifa |
Konsep guru dan pendidikan Indonesia Oleh : Junaidi Panusunan
MOTTO :
junaidi678.blogspot.com :
Kamis, 02 Agustus 2018
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Aku berfikir Aku ada