MOTTO :

junaidi678.blogspot.com :
TIADA HARI TANPA INOVASI

Kamis, 02 Agustus 2018



REALITA PENDIDIKAN INDONESIA, ALTERNATIF SOLUSINYA
OLEH : JUNAIDI PANUSUNAN, S.Pd.I, M.A

dokumen pribadi

Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 % dari jumlah penduduk, jadi sekitar 1,2 juta jiwa. Hal ini tentunya dapat menjadi asset bangsa jika remaja dapat menunjukkan potensi diri yang positif namun sebaliknya akan menjadi petaka jika remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam kenakalan remaja.
Hasil Penelitian BNN bekerja sama dengan UI menunjukkan :
  1. 1.      Jumlah penyalahguna narkoba sebesar 1,5% dari populasi atau 3,2 juta orang, terdiri dari 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi laki-laki sebesar 79%, perempuan 21%.
  2. 2.      Kelompok teratur pakai terdiri dari penyalahguna ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42% dan obat penenang 22%.
  3. 3.      Kelompok pecandu terdiri dari penyalahguna ganja 75%, heroin / putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34% dan obat penenang 25%.
  4. 4.      Penyalahguna Narkoba Dengan Suntikan (IDU) sebesar 56% (572.000 orang) dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang.
  5. 5.       Beban ekonomi terbesar adalah untuk pembelian / konsumsi narkoba yaitu sebesar Rp. 11,3 triliun.
  6. 6.      Angka kematian (Mortality) pecandu 15.00 orang meninggal dalam 1 tahun
Angka kenakalan remaja di atas menjadi PR yang berat bagi dunia pendidikan, oleh sebab itu pendidikan harus dapat mewarnai lintas sekotral dan lintas masyarakat. Kurikulum pendidikan harus mampu memberikan pengaruh bukan hanya di sekolah saja tapi sampai kedalam keluarga.
Dari segi kemampuan kognitif akademik, pada tahun 2015, dari hasil studi PISA (Program for International Student Assessmen), menunjukkan Indonesia baru mampu menduduki peringkat 69 dari 76 Negara, sedangkan dari hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematik and Science Study) Indonesia menduduki raking 36 dari 49 Negara. (www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-indonesia-masih-rendah-372187, diakses tanggal 26/03/2017)
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistim Pendidikan Nasional tahun 2003 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Amanat ini memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional bukan hanya sekedar mencerdaskan anak banga secara intelektual, namun lebih dari itu yaitu membimbing dan mengarahkan peserta didik agar cerdas secara emosional dan spiritual, berkompetensi dan berdaya saing.
Cerdas secara intlektual adalah kemampuan peserta didik untuk dapat memahami, merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memehami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_intelektual, di akses tanggal 20 Maret 2017). Cerdas secara emosional kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_emosional, diakses tanggal 20 Maret 2017)
Kecerdasan spiritual (bahasa Inggris: spiritual quotient, disingkat SQ) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_spiritual, diakses tanggal 20 maret 2017)
Dalam undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, sebagai payung hukum bagi pelaksanaan tugas mendidik para guru dan dosen  dijelaskan bahwa guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilaidan mengevaluasi peserta didik. (UU No 14 tahun 2005 pasal 1).
Dengan demikian, maka guru sebagai tenaga profesional harus memegan tueguh prinsip profesionalitas diantaranya, memiliki bakat dan minat, panggilan jiwa dan idealisme, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimmanan, ketakwaan, adan akhlak mulia (UU no 14 tahun 2005 pasal 7).
Dengan demikian, seharusnya guru mampu mengembangkan potensi peserta didik dengan fokus kepada pengoptimalan tiga kecerdasan tersebut diatas. Realitas yang ditemui pada pelaksanaan pembelajaran pada sekolah-sekolah, guru lebih banyak fokus kepada pengembangan dan pengisian kognitif peserta didik kemudian tidak memperhatikan bahkan banyak yang sampai mengabaikan aspek kecerdasan emosi dan spiritual. Sehingga harapan dari tujuan pendidikan nasional belum mampu wujud dengan baik.
Kurikulum 2013 mulai diterapkan pada sekolah-sekolah piloting (2013-2015), kemudian diperluas dengan penerapan pada sekolah-sekolah sasaran (mulai tahun 2016), secara teori merupakan solusi kurikulum Nasional yang dapat mengembangkan dan melatih tiga kecerdasan diatas, dengan harapan terciptanya generasi emas dangan kemampuan berfikir orde tinggi, yang kritis, terampil, berakhlakul karimah.
Tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi Indonesia sangat berat, pemberlakuan pasar bebas dunia, kemudian perkembangan tekhnologi informasi dengan percepatan yang luar biasa, mau tidak mau harus menjadi bagian hidup mereka. Satu sisi jika generasi muda tidak ”melek teknologi” maka mereka akan di tinggalkan, sebaliknya  jika mereka mengikuti perkembangan teknologi maka pengaruh kebarat-baratan akan menjajah cara berfikir generasi muda jika tidak dibentengi dengan kesadaran akan agama dan norma-norma susila.
Namun jika pelaksanaan pembelajaran masih konvensional, maka harapan menciptakan generasi emas (gold generation) akan menjadi sekedar konsep yang hanya banyak dibahas pada forum-forum bimtek dan seminar-seminar saja, dengan demikian langkah konkrit walaupun itu sederhana tetapi berkesinambungan dan  konsisten justeru akan lebih bermanfaat dan memberikan hasil akan harapan membimbing generasi yang berkompetensi dan berdaya saing, sehat jasmani dan rohani. Tentu akan kembali pada semangat apa yang di bangun oleh para guru dan seluruh stake holder, sehingga apa yang menjadi harapan akan terwujud dengan baik.



DAFTAR BACAAN
(www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-indonesia-masih-rendah-372187
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_intelektual
http://kbbi.web.id/ajar
Sabri, A. 2005, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, Jakarta
R. W. Dahar, 1989, Teori-teori Belajar, Jakarta, Erlangga.
Elias, Mourice J. 2001, Cara-cara efektif mengasuh anak dengan EQ : Mengapa Penting Membina Disiplin Diri, Tanggung Jawab, Dan Kesehatan Emosional Anak-Anak Pada Masa Kini (diterjemahkan M. Jauharul Fuad), Bandung : Kaifa

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Aku berfikir Aku ada