METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN :
A.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan Sosial dan Ilmu
Pengetahuan Kemanusiaan, merupakan bentuk disiplin ilmu yang dipandang masih
muda. Secara kasar, keberadaannya baru muncul pada abad ke-19, kendati
akar-akarnya sudah dapat dijumpai pada masa kuno.[1]
Pada abad ke-19, diawali dengan pemisahan ilmu
pengetahuan dengan dortrin agama –sebagai bentuk era baru bagi dunia Barat dan
perkembangan ini diberi nama Renaissance- serta berkembangnya aliran
Humanisme, telah memberikan kesadaran baru bagi para cendikiawan tentang
peranan, kemampuan dan martabat manusia dengan tidak berdasarkan iman dan
agama. Dukungan atas kesadaran ini dicari dan ditemukan dalam studi tentang
sastra, seni, dan filsafat pada masa Yunani kuno prakristiani.[2]
Selanjutnya, revolusi Perancis yang juga terjadi pada
abad ke-19, menjadi titik defenitif atas perkembangan ilmu pengetahuan sosial.
Pada waktu itu secara politis, bahasan atas ilmu-ilmu pengetahuan sosial
menjadi sebuah tuntutan.[3]
Kesadaran akan kedudukan khas ilmu-ilmu tentang
kemanusiaan –termasuk didalamnya ilmu-ilmu sosial sebagai bagian dari ilmu
kemanusiaan– dibandingkan ilmu-ilmu
empiris lainnya, menjadi suatu pembahasan khusus oleh para cendikia. Hal ini
dengan paling jelas dirumuskan oleh Aguste Comte, orang yang dianggap sebagai
“Bapak sosiologi”. Menurutnya, sesudah zaman teologis dan metafisis, tibalah
zaman ilmu-ilmu positif – Comte membahasakan dengan ilmu-ilmu positif terhadap
ilmu-ilmu yang bersifat empiris – yang defenitif. Ia (Aguste Comte),
membedakan ilmu mulai dari yang paling
abstrak : matematika,ilmu falak, kimia, ilmu hayat, fisika sosial –
kajian-kajian sosial disitilahkan dengan fisika sosial. Semua ilmu dalam
keadaan “jadi”-nya seolah ingin mendekati ciri deduktif dan kepastian
matematika, namun semuanya tidak pernah berhasil. Yang paling dekat adalah ilmu
falak dan yang paling jauh adalah sosiologi, kendati ilmu inipun
mencita-citakan bagan deduktif.[4]
Tidak lama kemudian tampillah banyak ilmuan terkemuka
bidang sosiologi. Diantaranya adalah : Emile. Durkheim, 1853-1919; Lucien
Levy-Bruhl, 1857-1939. Dalam bidang Psikologi muncul pula para tokoh, salah
satunya adalah Sigmund Freud, 1856-1939.
Sekelumit latar belakang hadirnya ilmu yang membahas
tentang ilmu-ilmu kemanusiaan yang telah dipaparkan diatas, memberikan gambaran
tentang keadaan dan posisi ilmu pengetahuan kemanusiaan. Ternyata sejak adanya
pengkajian keilmuan, ilmu pengetahuan tentang kamanusiaan juga sudah menjadi
bagian yang dibahas walaupun belum disadari. Kemunculannya secara defenitif
lebih kemudian dibanding dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, memberikan pengaruh
bagi pembahasan dan pengkajian ilmu kemanusiaan itu sendiri. Pengaruh ilmu
pengetahuan alam terhadap kajian ilmu pengetahuan kemanusiaan yang paling jelas
adalah dalam hal metodologi. Kondisi seperti ini memberikan kritik yang banyak,
sebab dari segi objek bahasan, ilmu pengetahuan kemanusiaan sangatlah jauh
berbeda dengan objek bahasan ilmu
pengetahuan alam.
Bagaimanakah ilmu pengetahuan pada masa kontemporer,
apa saja yang menjadi objek bahasannya, bagiamana karakteristiknya?.
Pertanyaan ini akan coba penulis bahas
pada bahasan selanjutnya.
B.
Pembahasan
1.
Ilmu Pengetahuan Sosial
a.
Pengertian Ilmu Sosial
Secara singkat, ilmu
pengetahuan sosial dapat didefenisikan sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia dalam hidup berkelompok sosial maupun
perorangan, baik dalam lingkup kecil maupun lingkup yang besar.[5] Wujud dari bentuk
tingkahlaku itu disebut sebagai gejala sosial, yaitu gejala yang memiliki banyak
dimensi.
b.
Karakteristik Ilmu Pengetahuan Sosial
1)
Objek Penelaahan yang komplek.
Gejala sosial merupakan gejala yang sangat komplek dibanding
dengan gejala alami. Jika dibandingkan, maka ahli ilmu alam berhubungan dengan
satu jenis gejala, yaitu gejala yang bersifat fisik.
Gejala sosial juga memiliki karakteristik fisik, namun tidak
sampai disitu saja, diperlukan penejelasan yang lebih dalam untuk mampu
menejelaskan gejala tersebut.[6] Salah satu contoh ketika
seseorang berkelahi dengan beradu fisik, maka
hukum-hukum ilmu biologi, kimia, ilmu alam akan mampu menerangkan sebagian
kejadian tersebut, namun tidak bisa menyentuh bagian esensi dari kejadian
perkelahian itu. Mengapa orang sampai berkelahi, bagaimana perasaan orang yang
berkelahi, bagaimana tanggapan orang sekitarnya dalam merespon perkelahian
tersebut. Hal ini memberikan gambaran betapa rumit dan kompleksnya
variabel-variabel penelitian dalam ilmu sosial.
2)
Kesukaran dalam Pengamatan
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba,
mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi pada masa lalu.[7] Artinya pengamatan
langsung dengan hanya memanfaatkan kekuatan indrawi tidak semuanya dapat
dilakukan. Karena pembahasan tentang masalah sosial memiliki karakteristik yang
berbeda.[8] Dalam bidang ilmu sosial,
tidak ada peluang untuk bisa merekontruksi masa kanak-kanak seorang yang sudah
dewasa. Berbeda dengan ilmu alam, seperti ilmu kimia; dapat mengulang kejadian
yang sama dan mengamati langsung suatu kejadian, walaupun dalam kurun waktu
yang sangat berbeda. Sebab ilmu sosial akan selalu berubah seiring berkembangan
zaman dan perubahan waktu. Suatu kejadian yang sama pada tempat atau waktu yang
berbeda, akan menghasilkan sesuatu yang persis sama
3)
Objek Penelaahan yang tidak Terulang
Gejala sosial banyak bersifat unik dan sukar untuk terulang
kembali. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dalam konteks historis
tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri di mana mungkin saja terjadi
pengulangan yang sama dalam waktu yang berbeda, tetapi tak pernah serupa
seluruhnya. Sehingga dalam ilmu sosial, hanya bisa ditarik kesimpulan yang
bersifat umum dari kejadian-kejadian yang mempunyai faktor yang serupa.[9] Bervariasinya
kejadian-kejadian sosial, ditambah dengan sulitnya pengamatan secara langsung
waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji
hukum-hukum sosial.
4)
Hubungan antara Ahli dan Objek
Penelaahan Sosial
Ilmu-ilmu sosial tidak pernah terlepas dari jalinan
unsur-unsur kejadian sosial. Kesimpulan umum mengenai suatu gejala sosial bisa
mempengaruhi kegiatan sosial tersebut.[10] Jika dalam ilmu sosial,
sorang ahli meramalkan 600 orang akan meninggal dalam kecelakaan lalu lintas
pada lebaran yang akan datang, sesuai dengan data dan kajian teorinya, maka
ramalan itu pasti akan meleset. Sebab orang akan terkejut dengan pengumuman
tersebut dan melakukan berbagai usaha dan tindakan preventif dalam rangka
mengurangi bahaya kecelakaan.
Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang
menyaksikan proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral dari objek
kehidupan yang ditelaahnya. Seorang penelitia ilmu sosial dalam melakukan
penelaahan yang ia lakukan akan selalu dipengaruhi oleh minat, nilai-nilai
hidupnya, kegemaran dan alin sebagainya. Kondisi ini menjadikan bahasan bidang
ilmu sosial sangat sulit untuk dapat menghasilakan pengkajian yang benar-benar
objektif.
c.
Eksistensi ilmu Pengetahuan sosial
dala kehidupan manusia
Sebagaimana yang telah di singgung dalam pembahasan
sebelumnya, bahwa ilmu sosial, secara metodologi masih dipandang belum mandiri,
hal ini disebabkan formulasi yang efektif yang bersifat defenitif dan
generalistik dalam menelaah ilmu sosial belum bisa ditemukan dan memungkinkan
untuk tidak pernah bisa ditemukan. Namun keberadaan ilmu sosial sangatlah perlu
bagi kehidupan manusia. Sebab dalam kajian ilmu sosial akan dapat ditemukan
nilai dan martabat dari kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu
sosial akan memberikan wawasan bagi manusia itu sendiri tentang nilai dan
manfaat dari ilmu yang ditelaahnya (termasuk didalamnya ilmu alam). Ilmu sosial
akan menjadi mengendali dari keterbebasan ilmu alam dalam membahas objek
kajiannya. Peristiwa bom atom yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki menjadi
gambaran betapa menakutkannya suatu kajian keilmuan yang dilakukan oleh seorang
ahli ilmu alam, ketika tidak memandang dan mengkaji penelaahannya dari sudut
pandang sosial.
Atas dasar kajian ini, maka seorang ilmuan disamping memiliki
tanggung jawab atas kajian yang ia lakukan, juga memiliki tanggung jawab
sosial. Yaitu sejauh mana kajian yang ia lakukan mampu memberikan manfaat yang
baik bagi masyarakat banyak.[11]
2.
Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan.
a)
Pengertian
Yang dimaksud dengan ilmu kemanusaan (human Sciences)
adalah ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek
kehidupannya : ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perorangan maupun
bersama, dalam lingkup kecil maupun besar, dan banyak aspek lainnya.[12] Kajian ilmu kemanusiaan
memiliki banyak bagian seperti psikologi, politik, ekonomi dan lain sabagainya,
termasuk didalamnya ilmu sosial.
b)
Ciri-ciri khas ilmu kemanusiaan
Dalam perkembangan hari ini, keberadaan tentang ilmu-ilmu
kemanusiaan semakin disadari. Dalam mlakukan penelaahan, seperti pengamatan,
penelitian dan percobaan empiris, ilmu-ilmu kemanusiaan berusaha mengembangkan hukum
dan teori ilmiah menurut irama yang mirip dengan irama ilmu alam. Namun dalam
pembahasan dan penelaahanya, ilmu-ilmu kemanusian memiliki ciri khas sebagai
berikut :
1)
Manusia
sebagai Objek dan Subjek dalam Ilmu kemanusiaan.
Dalam melakukan
penngkajian dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, maka manusia miliki dua fungsi,
yaitu sebagai peneliti sekaligus menjadi objek penelitian. Keberadaan manusia
objek dan sekaligus subjek penelitian, menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan lebih
dekat dengan filsafat, terutama ketika berbicara tentang teori.[13] Inilah yang menjadi
lehkhusuan objek pembahasan dari ilmu-ilmu tentnag kemanusian yaitu manusia itu
sendiri.
Objek kajian ilmu-ilmu
kemanusiaan, jika dilihat dari segi ruang dan waktu – merupakan dua ciri
dasariyah dari jagad semester material yang dihuni manusia– maka ruang dan
waktu itu sendiri bisa menjadi “ukuran” dari pengkajian ilmu-ilmu tentang
kemanusiaan. Namun runag dan waktu
semata tidaklah memadai dan tidak sesuai dengan penagalaman manusia itu
sendiri. oleh manusia ruang dihayati secara nyata dalam lingkungan pergaulan
atau masyarakat, sedangkan waktu dialami dan dipandang sebagai sejarah yang
jauh melampaui rangkaian-rangkaian peristiwa semata-mata. Dalam hal ilmu alam, keberadaan ruang dan
waktu di pandang “mati”, maksudnya semua ruang dan waktu dapat dipandang sama,
hanya yang berbeda bentuk dan ukuran serta urutannya saja. Sehingga
data akan tetap sama dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam linkungan
massyarakat sosial, data sanagtlah banyak dan hampir tidak bisa diperangkakan.
Yang satu berbeda dengan yang lain, sebab peristiwa yang berkaitan dengan
kemanusiaan manusia akan memiliki keunikan tersendiri dari masing-masing
manusia itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut
diatas, maka cara berfikir dalam membahas ilmu-ilmu kemanusiaan yang dipakai
adalah cara berfikir analog. Cara berfikir analog diartikan sebagai pandangan
bahwa setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam kesamaan itu juga ada
perbedaan.[14]
2)
Titik Pangkal
dan Kriteria Kebenaran
Titik pangkal kebenaran
dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan akan sangat dipengaruhi oleh menusia itu
sendiri. jika dibandingkan dengan ilmu alam, maka manusia sebagai subjek
penelitian akan terpisah dengan objek penelitian yaitu alam yang akan ia kaji.
Maka dalam ilmu alam “pengamatan murni” dapat dilakukan oleh seorang peneliti.
Yaitu pengamatan tanpa yang dilakukan tanpa adanya prasangka. Dalam ilmu
kemanusiaan, maka seorang peneliti tidak akan mampu melepaskan dirinya sebegai
manusia pula sebagai objek yang ditelitinya.
Untuk mengungkap suatu
kebenaran dalam kajian ilmu kemanusiaan dibutuhkan penafsiran secara mendalam
dari penliti tentang peristiwa dan kejadian yang ada, berdasarkan kemampuan
yang ada dalam diri sipengamat atau si peneliti sendiri. Cara seperti ini disebut dengan verstehen,
yaitu mengerti atau memahami atau menfsirkan peristiwa.[15]
Dari pembahasan di atas,
dapat disadari bahwa tidak terdapat cara atau bentuk yang sama dalam membahas
semua cabang ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain tidak ada teori yang baku
dalam mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan.
3)
Subjek dan
Objek saling Mempengaruhi
Sebagai akibat dari
ciri-ciri yang telah di bahas di atas, lebih lanjut dapat di fahami bahwa dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan, terdapat pengaruh
timbal balik antara subjek dan objek tanpa henti dan amat intensif. Pembahasan
ilmu-ilmu kemanusiaan, peneliti akan selalu dipengaruhi kondisi dirinya sendiri
dan kondisi masyarakat atau orang yang ia teliti.
C.
Kesimpulan
1. Ilmu-ilmu-pengetahuan sosial, secara epistimologi,
eskistensinya banyak menuai perdebatan dari para ahli. Hal ini disebabkan dalam segi metodologi
ilmu-ilmu pengetahuan sosial masih meniru ilmu pengetahuan Alam
2. Ilmu-ilmu Pengetahuan sosial, objek penelitiannya
adalah gejala sosial pada manusia. Gejala sosial memiliki bermacam-macam
variabel dan bersifat dinamis. Sehingga tidak ada teori/hukum tentang ilmu
sosial yang baku.
3. Ilmu-ilmu tentang kemanusiaan yaitu ilmu yang
membahas tentang tingkah laku manusia secara empiris, baik tingkah lakunya secara
individu dan individu dalam kelompok.
4. Posisi manusia itu sendiri dalam kajian ilmu
tentang kemanusiaan adalah sebagai subjek sekaligus objek.
5.
Dalam bidang
ilmu tentang kemanusiaan juga bersifat dinamis, artinya tidak ada teori yang
defenitif dan berlaku sepanjang masa tentang manusia.
[1] C. Verhaak S.J dan R. Haryono Imam, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1989) Cet. 2 th. 1991, h. 66. Masa hingga sekitar akhir
abad ke-18, di dunia Barat, baik dalam karya ajaran filsafat maupun dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, telah ditemui ilmu-ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia. Ilmu yang sudah menjadi bahasan
pada masa ini, mengkaji tentang manusia diantaranya adalah : sejarah, ilmu tentang hidup bernegara dan
beragama, ilmu kedokteran, ilmu satra, ilmu hukum, ilmu bahasa, ilmu ekonomi,
ilmu kebudayaan. Sebagai periode cikal bakal, maka pembahasahan dan pengkajian
terhadap ilmu kemanusiaan dan Ilmu-ilmu sosial
maka corak dan bentuknya sangat jauh berbeda jika dibanding dengan yang
ada pada dewasa ini. Pada perkembangan sebelum abad ke-19, keberadaan ilmu
kemanusiaan belum begitu disadari. Hal ini disebabkan keterpanaan para ilmuan
dalam pesona keberhasilan dan kegemilangan ilmu pengetahuan alam. Pada masa
ini, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan kemanusiaan meniru cara kerja
ilmu pengetahuan alam dengan begitu saja tanpa memperhatikan kekhasan dari
objek bahasan ilmu itu sendiri.
[2] Ibid,
h. 67.
Pada masa sebelum abad ke-19, dunia
Barat berada pada masa kemuraman dan kebutaan. Kondisi ini disebabkan dominasi
otoritas Gereja dalam kehidupan masyarat. Doktrin yang di usung oleh pihak gereja
telah membatasi dan mengunci kreatifitas rasio pada saat itu, karena apapun
aktifitas kehidupan harus berdasarkan legitimasi Pastur sebagai pimpinan
tertinggi Gereja. Dalam sejarah juga kita dapat mengetahui, ada sebagian
kelompok kecil masyarakat masa itu yang mencoba melawan arus atas dominsai
pihak Gereja, yaitu para cendikiawan. Namun popularitas gereja mengalahkan ide
yang di usung oleh sebagian kecil masyarakat cendikia, akhirnya banyak para
ilmuan yang teguh pada pendiriannya harus berakhir di tiang gantungan. Perlu
dicatat, pada masa kemunduran dunia Barat ini, pada belahan dunia lain, yaitu
di derah timur di bawah kekuasaan kekuatan Islam, justeru sedang mengalami masa keemasan dalam
bidang keilmuan. Dalam sejarah dunia telah
tercatat kagemilangan yang dicapai dunia Islam pada masa daulah Umayyah
di Cordova dan Daulah Abbasiyah di Andalusia.
[3] ibid
[4] Ibid,
h. 68
[5] Ibid,
h. 66
[6] Jujun,
S. Suria Sumantri (Penj. & Ed.) Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta : PT
Gramedia, 1978) cet. 8 th. 1989, h. 134
[7] Ibid,
h. 135
[8] Ibid,
[9] Ibid,
h. 136
[10] Ibid,
h. 137-138
[11]
Jujun, S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-17, th. 2003, h. 237-245
[12] C.
Verhaak, op.cit, h. 66
[13] Ibid,
h. 70
[14] Ibid,
h. 71
[15] Ibid,
h. 73, lihat juga Jujun, Ilmu dalam Perspektif, h . 144-146
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Aku berfikir Aku ada