BAB I
PENDAHULUAN
Periodeisasi pada setiap tahapan sejarah dapat dilihat
dari berbagai sisi. Penekanan pembahasan akan terfokus pada kaca mata yang
digunakan dalam menatap sejarah. Berkaitan dengan sejarah Islam yang dipandang
dengan kaca mata pendidikan, maka fokus pembahasan adalah sejarah Pendidikan
Islam itu sendiri. secara garis besar, para sejarawan membagi tahapan sejarah
kepada beberapa bagian, yaitu : (1) Periode klasik, (2) periode Modern, (3)
Periode Kontemporer. Pada bahasan ini akan dikupas salah satu periode sejarah
pendidikan Islam yaitu periode klasik. Tepatnya pendidikan Islam pada masa pemerintahan
bani Umayyah.
Berbicara tentang sejarah pendidikan, seorang penulis dalam
membahas sejarah pendidikan itu, tidak akan bisa melepaskan sisi-sisi lain dari
sejarah itu sendiri, sebab semuanya merupakan suatu sistem sejarah yang saling
memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu ketika
membahas tentang Sejarah Pendidikan Islam, maka bahasan tentang perkembangan
politik, ekonomi, sosial dan budaya pada masa itu tidak bisa diabaikan.[1]
Dalam sejarah pendidikan Islam klasik, para ahli
sejarah sepakat bahwa salah satu periodenya adalah pada masa pemerintahan Bani
Umayyah. Dinasti Umayyah merupakan dinasti peralihan dalam sejarah Islam.
Peralihan ini maksudnya adalah pada masa ini adanya perubahan mendasar pada
sistim ketatanegaraan negara Islam. Kita mengetahui bersama, bahwa sebelum masa
bani Umayyah berdiri, sistem pemerintahan Islam adalah sistim pemerintahan yang
demokratis. Keadaan ini dapat diketahui melalui proses pemilihan pemimpin
negara pada saat itu. Sebelum masa dinasti Umayyah, pemimpin negara dipilih
berdasarkan suara terbanyak oleh perwakilan ummat Islam. Pada masa dinasti
Umayyah sistem pemerintahan telah berubah menjadi monarchiheredities
yaitu sistim pemindahan kepemimpinan dan kekuasaan negara kepada anak keturunan
dari raja itu sendiri.
Dalam berbagai literatur sejarah, banyak ditemukan
bahwa awal berdirinya dinasti umayyah memiliki catatan yang sedikit kelam,
kelamnya sejarah berdirinya dinasti ini memberikan dampak kepada stabilitas
pemerintahan karena banyaknya pihak-pihak yang melakukan perlawanan dan
berusaha memberontak.[2] Kondisi ini sedikitnya
juga memberikan dampak kepada perkembangan pendidikan pada saat itu. Sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi dunia pendidikan, maka situasi politik pada
masa dinasti Umayyah ini memberikan dampak kepada kurang berkembangnya dunia
pendidikan. Karena hampir sebagian besar khalifah-khalifah yang
berkuasa pada dinasti umayyah lebih banyak berkonsentrasi pada usaha
menstabilkan suhu politik. Walaupun perkembangan dunia pendidikan mengalami
adanya kemajuan, namun pendidikan lebih banyak berjalan secara alamiah tanpa
adanya pengolaan resmi dari negara. Pendidikan khusus atau bisa dikatakan
formal hanya dinikmati oleh kaum bangsawan, yaitu adanya sebagian khalifah yang
mendatangkan guru khusus untuk mengajarkan anaknya berbagai disiplin ilmu.
Kemudian, para bangsawan juga membuat tempat-tempat khusus untuk balajar
anak-anak mereka sebagai salah satu usaha mempersiapkan figur yang siap
menerima tampuk kekuasaan baik secara fisik maupun mental.[3]
Secara umum, dinasti umayyah mampu memajukan beberapa
aspek kehidupan ummat Islam pada saat itu. Kemajuan ini ditandai dengan
berdirinya lembaga-lembaga yang berfungsi secara profesional. Diantaranya
adalah dalam bidang administrasi, telah
terbentuk lembaga administrasi pemerintah yang mendukung tampuk pimpinan
dinasti umayyah. Di antaranya :
1.
Adanya pemisahan otoritas kekuasaan.
Pada masa pemerintahan Umayyah telah terjadi pemisahan antara kekuasan politik
dengan kekuasaan agama. Pada saat itu, kekuasaan politik di pegang oleh para
khalifah sementara kekuasaan atau otoritas kegamaan dipegang oleh para ulama.
2.
Pembagian wilayah negara. Pada masa
ini, wilayah kekuasaan terbagi pada 10 provinsi yaitu : Syiriya dan Palestina,
Kuffah dan Iraq, Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah, Armenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika utara),
Yaman dan Arab Selatan, serta Andalusia
3.
Dalam bidang administrasi, pemerintah
telah membentuk Organisasi tata Usaha negara yang dipecah dalam bentuk
dewan-dewan. Departemen Pajak dinamakan Dewan al-Kharaj, Departeman Pos
dinamakan Dewan Rasail, departeman yang menangani berbagai kepentingan
umum dinamakan Dewan Musghilat, departeman dokumen Negara dinamakan dengan Dewan Khatim.
4.
Organisasi Ketentaraan.
5.
Organisasi kehakiman dan lain-lain.[4]
Dari penjelasan ini, setidak-tidaknya
keberadaan dinasti Bani Umayyah sudah berperan dalam mengukir sejarah
Pendidikan Islam dalam bagi perkembangan sejarah ummat Islam. Sebab pada masa
ini juga telah terbentuk berbagai macam lembaga pendidikan Islam yang akan di
kupas pada pembahasan selanjutnya.
[1] Hal
ini memang sudah menjadi kesepakatan para ahli sejarah dala membahas sejarah
dala kacamata tertentu. Salah satu contoh pembahasan tentang sejarah pendidikan
di Indonesia, maka pendidikan itu tidak akan terlepas dari kondisi politik,
sosial dan ekonomi. Sejarah pendidika Indonesia pada masa kolonial akan berbeda
keadaannya dengan pendidika pad mas ordr lama, orde baru dan orde reformasi.
Kondisi ini dikarenakan keadaan politik akan memberikan dampak yang begitu
besar terhadap pendidikan itu sendiri.
[2] Dinasti
umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H dan berakhir
pada tahun 132 H. Dengan demikian dinasti umayyah berkuasa selama 91 tahun.
Umumnya para ahli sejarah mencatat bahwa dinasti Umayyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya.
[3] Salah
satu penjelasan yang diberikan oleh Ahmad syalabi adalah bahwa Abdul Malik Ibnu Marwan salah
seorang khalifah dinasti Umayyah (685-705 M), pernah memberikan titah kepada
pendidik puteranya : “ajarkanlah kepada mereka berkata benar disamping
mengajarkan al-Qur’an. jauhkanlah dari mereka orang-orang jahat, karena
orang-orang jahat itu tidak mengindahkan perintah Tuhan dan tidak berlaku
sopan. Dan jauhkan pula dari khamar dan pelayan-pelayan karena pergaulan dengan
khamar dan pelayan-pelayan dapat merusak moralnya. Lunakkanlah hati mereka agar
keras pundaknya. Berilah mereka makan daging agar mereka kuat. Ajarkanlah syair
kepada mereka agar mereka kuat dan berani. Suruhlah mereka bersugi dengan
melintang dan minum dengan menghirup dengan pelan-pelan, jangan diminumnya saja
dengan tidak senonoh, dan bila kamu perlu menegurnya, maka hendaknlah dengan
tertutup. Jangan sampai diketahui oleh pelayan-pelayan dan tamu-tamu agar ia
tidak dipandang rendah oleh mereka. Lihat Ahmad Syalabi Tharîkh al-Tarbiyyah
al-Islâm, (Judul Bahasa Indonesia : Sejarah Pendidikan Islam) Yogyakarta :
Bulan Bintang, tt, h. 48-52
[4]
Samsul Nizar (Editor) Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia ( Jakarta : Kencana, 2007) h.
57-60
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pendidikan
Era Dinasti Umayyah
Secara ekplisit, visi dan misi pendidikan pada masa ini tidak ada, sebab
pada saat itu belum ada pengistilahan dari visi dan misi sebagi salah satu dari
komponen pendidikan. Secara inplisit, konsep visi dan misi itu telah ada, hal
ini dapat dilihat dari berbagai macam upaya yang dilakukan oleh para khalifah
pada saat itu. Karena ketegasan visi dan misi ini tidak ada secara tertulis,
maka para ahli berusaha menterjemahkannya dari analisa-analisa. Abuddin Nata
memberikan gambaran dari analisi yang telah ia lakukan bahwa visi pendidikan
pada era Dinasti Umayyah adalah Unggul dalam ilmu agama dan ilmu umum sejalan
dengan kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam.[5]
Pandangan Abuddin Nata memberikan isyarat bahwa pada masa bani ummayyah sudah
terjadi dikotomi pendidikan dengan membedakan adanya ilmu umum dan ilmu agama.
Namun sesungguhnya pada saat itu tidak ada perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama, karena sistem
pendidikan pada saat itu mengisyaratkan bahwa peserta didik harus memiliki
dasar Tauhid dengan mempelajari al-qur’an secara totalitas, harus memiliki
keterampilan dan kelincahan fisik yang baik dan menguasa keilmuan agama yang
lain secara baik.[6]
Misi pendidikan yang dapat ditangkap pada masa ini adalah antara
lain: (1) menyelenggarakan pendidikan
secara seimbang antara keterampilan nalar dan kekuatan ruhaniah, (2) melakukan
penataan kelembagaan pendidikan dan aspek-aspek pendidikan Islam, (3)
memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh wilayah Islam secara merata, (4)
menjadikan pendidikan Islam sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam, (5)
memberdayakan masyarakat agar dapat memecahkan masalah sendiri.[7]
B.
Kurikulum Pendidikan Era Dinasti
Umayyah
Kurikulum dalam artian
seperangkat perencanaan yang akan
dilakukan guna mencapai suatu tujuan pendidikansudah terlaksana secara
ekplisit pada masa ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai literatur sejarah. Philip
K Hitti memberikan isyarat bahwa kurikulum yang ada pada saat ini adalah ilmu
al-qur’an dan hadits –dibahasakan dengan ilmu agama serta ilmu tubuh atau ilmu
kedokteran. Dijelaskan bahwa pada saat ini ilmu kedokteran masih dalam taraf
yang primitif, walaupun analisa ini kurang objektif karena memandang ilmu kedokteran
(tabib) yang berlaku pada zaman Islam klasik dipandang sebagai kegiatan mistik.[8]
Abuddin Nata, dalam hal ini mencoba menterjemahkan aktifitas kegiatan
pendidikan pada masa ini. masalah ini dipaparkan dengan memberikan penjelasan
bahwa kurikulum yang diterapkan pada masa dinasti Umayyah adalah : (1)
Al-qur’an dan Hadits serta Fiqih, (2)
Ilmu sejarah dan Geografi, (3) Ilmu
Bahasa, (4) Filsafat[9]
1.
Al-qur’an dan Hadits serta Fiqih
Pendidikan
al-qur’an dan hadits merupakan kurikulum yang mendasar bagi ummat Islam. Sejak
periode rasulullah, sampai kepada akhir zaman, pendidikan al-qur’an dan hadits
akan selalu menjadi perhatian bagi ummat Islam itu sendiri. pada masa bani Umayyah
pendidikan al-Qur’an dan hadits sudah mengalami kemajuan yang lebih baik.
Pendidikan al-Qur’an menjadi pedidikan utama yang harus diberikan kepada
peserta didik. Abdul Malik Ibnu Marwan merupakan salah satu contoh khalifah
pada dinasti Umayyah yang selalu berpesan kepada para guru dari anak-anaknya
agar mereka diajarkan al-qur’an. termasuk juga khalifah Hisyam ibn Abdul Malik
(724-743).[10] Pendidikan
hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an pada masa ini sudah
mendapat perhatian khusus. Pandangan tentang pentingnya pendidikan hadits
terlihat pada keseriusan Umar bin Badul Aziz (salah seorang khalifah Bani
umayyah yang mashur karena prestasi kepemimpinannya) dalam menyelamatkan
hadits-hadits Rasul dari kehilangan dan pengaburan. Pada saat itu Umar bin
Abdul Azis mengumpulkan para muhadditsin agar hadits dikumpulkan dan
dibukukan. Sementara yang menjadi sasaran adalah seluruh ummat yang tedapat
diseluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dirinya untuk mebangun
kualitas kehidupan yang lebih baik.
2.
Ilmu sejarah dan Geografi
Kurikulum
sejarah diajarkan bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada peserta didik
tetang sejarah-sejarah terdahulu, hal
ini berguna untuk mengambil pedoman dari peristiwa yang telah terjadi untuk
dijadikan acuan dalam melakukan tindakan selanjutnya. Terutama bagi para
anak-anak raja yang akan menjadi pemimpin negara. Ilmu geografi juga mulai
diajarkan oleh para raja kepada putra-putranya, seiring dengan semakin luasnya
wilayah-wilayah kekuasaan Islam, sehingga para calon pemimpin negara dapat mengtahui
dengan baik wilayah-wilayah Islam beserta karakteristik geografinya. Pada masa
ini, kajian dan pendidikan tentang ilmu sejarah dan geografi merupakan awal
perkembangan.[11]
Tokoh-tokoh ilmu sejarah yang cukup
mashur pada saat ini adalah Ubaid Ibn Syarhah yang telah menulis beberapa buku
sejarah dan yang terkenal adalah Kitâb al-Mulûk wa Akbâr al-Mâdîn (Buku
tentang sejarah para raja dan ummat terdahulu).[12]
3.
Ilmu
Bahasa
Abuddin Nata memberikan penjelasan bahwa pendidikan bahasa yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini meliputi ilmu Nahu dan Syaraf.[13]
Pendidikan ilmu Nahu dan ilmu Syaraf ini di laksanakan untuk semua
kalangan, karena bahasa ajaran agama Islam adalah bahasa Arab. Untuk memahami
bahasa ini maka harus mengerti tentang ilmu Nahu
dan Sharaf. Disamping itu giatnya
pembelajaran bahasa Arab disebabkan adanya arabisasi dan reformasi administrasi
negara. Peristiwa ini terjadi pada masa
pemerintahan Abdul Malik Ibnu Marwan dan dan al-Walid. Pada masa inilah, bahasa Arab dijadikan sebagai
bahasa resmi negara.[14]
4.
Filsafat dan Teologi
Kajian
ini juga masih dalam bentuk cikal bakal. Adanya kajian teologi pada zaman bani
Umayyah ini ditandai dengan munculnya aliran dalam Islam akibat adanya
perbedaan pemahaman ajaran agama secara filosofis. Aliran itu adalah aliran Aqadariyah[15].
Selanjutnya lahir pula mazhab pemikiran Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washîl
ibn Atha’ (w. 131 H)[16]
yang dikenal sebagai kaum rasionalisme. Pengaruh yang dibawa oleh tokoh ini
menjadikan langkah awal perkembangan filsafat pada masa selanjutnya.
Sekte-sekte yang lahir pada masa ini bukan hanya muktazilah saja tetapi ada
sekte-sekte lain yang muncul baik sebelum dan sesudahnya. Sekte-sekte itu adalah
Qadariyah , Murji’ah dan Jabbariyah. Semua sekte-sekte ini juga berperan dalam
perkembangan filsafat teologi. Filsafat-filsafat lain juga sudah mulai
berkembang pada zaman ini. Hal ini bisa dilihat dari telah adanya kegiatan
penterjemahan buku-buku kimia dan kedokteran Yunani kedalam bahasa Arab yang
pada saat itu masih dalam bentuk bahasan filosofis. Kegiatan ini bukan hanya
sampai pada taraf peterjemahan saja, tetapi sudah ada pengkajian yang dilakukan
oleh ummat Islam sehingga filsafat menjadi berkembang.
C.
Lembaga-lembaga Pendidikan
Lembaga-lembaga
pendidikan yang telah berdiri pada masa sebelum dinasti umayyah tetap eksis
ditengah masyarakat. Lembaga pendidikan itu adalah Kutab dan masjid-masjid.[17]
Secara
garis besar, lembaga pendidikan yang ada pada masa ini dapat digolongkan pada
dua jenis yaitu lembaga pendidikan eksklusif yang khusus untuk anak para raja
atau khalifah dan pendidikan konvensional yang diisi oleh masyarakat umum dan
para pecinta ilmu.
Lembaga
yang termasuk kepada kategori ekslusif adalah Istana. Tempat ini merupakan lembaga pendidikan rendah yang
diperuntukkan kepada putra mahkota dan para bangsawan. Kemudian Badiah
yaitu gurun pasir Arab Badui, tempat belajar putra mahkota tentang bahasa arab dengan
kaidah yang benar, kemudian pada lembaga ini juga diajarkan katangkasan dan
kesabaran, walaupun pada lembaga ini ada juga murid yang berasal dari rakyat
biasa. Sementara lembaga pendidikan konvensional yang berkembang adalah
al-Bimaristan dan perpustakaan. Berikut penjelasan tentang masing-masing lembaga
pendidikan yang ada pada masa pemerintahan Bani Umayyah.
1.
Istana.
Sebagai salah satu bentuk usaha yang
dilakukan oleh para khalifah dalam rangka mepersiapkan pengganti pemimpin
negara, maka dilaksanakanlah pendidikan didalam istana. Pelaksanaan pendidikan
di istana ini telah dilaksanakan pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik
dengan mendatangkan seorang guru (mu’adib) keistana serta menetap
disana. Dalam melakukan tugasnya, pihak istana memenuhi segala kebutuhannya
dengan fasilitas yang khusus.
2.
Badiah
Lembaga ini merupakan lembaga
pendidikan yang muncul pada pemerintahan Abdul Malik dan al-Walid.[18]
Kemunculan lembaga Badiah sudah ada sejak awal berdirinya dinasti
Umayyah pada masa khalifah Mu’awiyah. Seiring dengan adanya kebijakan Arabisasi negara. Pada
saat itu semua birokrasi dan administrasi negera harus menggunakan Bahasa Arab.
Para raja dan pejabat negara, dalam rangka menyiapkan generasi pengganti
kekuasaan, berusaha untuk memberikan pelajaran bahasa Arab yang benar, maka
eksistensi lembaga ini lebih berperan. Badiah secara bahasa berarti Dusun Badui
di Padang sahara yang penduduknya menggunakan bahasa Arab murni yang sesuai
dengan kaidah. Untuk lembaga ini, karena dapat dijadikan sebagai sumber dalam
memamahi bahasa Arab dengan benar, maka yang belajar ketempat ini bukan hanya
para penguasa, tetapi ada juga para ulama. Para ulama ini mempelajari bahasa
Arab disini bertujuan untuk memahami bahasa arab dengan benar sebagai bahasa
pemersatu ummat Islam dan bahasa al-Qur’an.
3.
Perpustakaan
Perpustakaan merupakan salah
sentralnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pada pustaka inilah banyak pengkajian
dan pembelajarn dilakukan, termasuk didalamnya menterjemahkan buku-buku Yunani
yang lebih awal mengalami kemajuan bidang ilmu pengetahuan. Pada masa-masa
selanjutnya kita akan mendapati banyknya tokoh-tokoh intelektula Islam yang
mengawali karirnya dari perpustakaan. Pada zaman dinasti Umayyah, perhatian
terhadap eksitensi perpustakaan sudah mengalami peningkatan. Al-Hakam ibn Nasri
(350 H/961 H) telah mendirikan perpustakaan yang sangat besar di Kordova
Spanyol. [19]
4.
Al-Baristan merupakan rumah sakti tempat orang
berobat. Selain dari tempat berobat ternyata tempat ini berfungsi sebagai
tempat peraktik lapangan dan penelitian bagi calon dokter. Khalid ibn Yazid
(cucuk Mu’awiyah) merupakan salah seorang dari kelurga Istana bani Umayyah yang
memiliki perhatian tinggi dan tertarik kepada ilmu kimia dan kedokteran.
Abuddin Nata memberikan penjelasan bahwa dengan wewenang yang ada padanya, ia
menyediakan dana dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk
menterjemahkan buku Kimia dan Kedokteran kedalam bahasa Arab. Selanjutnya khalifah
Walid ibn Marwan merupakan khalifah yang memberikan perhatian tinggi terhadap al-Baristan.[20]
D.
Tenaga Kependidikan
Dalam
bidang tenaga kependidikan, tenaga yang di pakai adalah orang-orang yang
memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam bidang keilmuan. Secara umum,
yang menjadi tenaga pendidik pad masa ini adalah para ahlu qurra (pembaca
dan penghafal al-qur’an), sebab dari mereka inilah kegiatan transformasi dan
penanaman pehaman agama yang baik kepada ummat Islam.[21]
Selanjutnya,
pada masa ini juga muncul lembaga pendidikan istana. Pada lembaga ini yang
menjadi tenaga pendidikannya adalah guru yang di tentukan oleh pihak istana dan
guru itu menetap disana. Tugas pembinaan yang harus ia lakukan ditetapkan oleh
khalifah. Biasanya tugas mereka bukan hanya sekedar mengajarkan menulis dan
membaca, tetapi juga mengajarkan akhlak, tradisi dan etika istana. Guru yang
didatangkan keistana ini disebut dengan istilah mu’addib. Muaddib ini kebanyakan berasal dari kalangan ulama
walaupun ada sebagian diantaranya yang berasal dari tawanan perang.[22] Disamping
itu, al-Baristan yang juga merupakan salah satu lembaga pendidikan pada
masa ini, tenaga pendidiknya adalah para dokter dan tenaga Medis.[23]
E.
Pengelolaan Pendidikan
Luasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa ini sudah mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Wilayah itu bukan hanya sekedar meliputi jazirah Arab, tetapi sudah
sampai ke Eropa dan Asia. Kekuasaan yang begitu luas akan memberikan dampak
terhadap kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh kepala negara. Dalam
bidang pendidikan, kebijakan ini diambil terwujud dalam bentuk adanya
desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan. Yaitu pemerintah pusat hanya
mengatur hal-hal yang bersifat umum dan konseptual, sementara teknis
pelaksanaan diserahkan kepada daerah-daerah. Jika di tela’ah, kebijakan ini
bertujuan untuk mengakomodir semua kebutuhan pendidikan pada setiap
daerah-daerah kekuasaan Islam yang begitu luas. Masyarakat Mesir akan berbeda
pola dan kebutuhan pendidikannya secara khusus dibanding dengan orang Eropa dan
seterusnya. Salah satu contoh kibijakan umum ini dapat dilihat pada masa
pemerintahan al-Malik dan al-Walid ( yang pada saat itu diberlakukannya
Arabisasi kekhalifahan), maka dalam melaksanakannya, pemerintah hanya
menentukan kebijakan itu saja, yaitu bahasa resmi negara adalah bahasa Arab.
Kebijakan ini akan berdampak kepada sistem pendidikan, yaitu pada msaing-masing
daerah harus diajarkan bahasa Arab. Tentang bagaimana teknis pelaksnaannya
diserahkan kepada masing-masing daerah itu sendiri.[24]
F.
Lulusan (Out Put)
Pada
zaman ini, kondisi ummat Islam sudah berada pada generasi ketiga sesudah Rasulullah.
Para peserta didik memeperoleh pendidikan dan pengajaran dara para sahabat
rasul. Yaitu orang yang pernah bertemu dan belajar langsung kepada Rasulullah.
Sesuai deng kondisinya, maka lulusan atau out put dari sistem pendidikan yang
ada pada masa bani Umayyah adalah para tabi’în.
G.
Khasanah Intelektual Islam pada Era
Dinasti Umayyah.
Pada
masa ini bisa dikatakan sebagai masa awal berkembangnya trasisi intelktual
dalam sejarah Islam. Kondisi masayarakat yang beru keluar dari budaya dan
tradisi jahiliyah, menjadikan labatnya perkembangan dinamika intelktual. Namun
bibit-bitinya sudah tersebar. Dalam berbagai sumber dijelaskan bahwa di kota
kuffah dan bashrah telah berkembang tradisi intelktual dalam dunia Islam. Di
Bashrah, yang menjadi ibu kota salah satu provinsi, kajian ilmiah tentang tata
bahasa Arab telah dimulai. Di Kuffah, yang sebagian besar penduduknya adalah
dari golongan pendukung Ali, (Syi’ah), telah terjadi perkembangan dalam
pengkajian hadits. Dari kota ini muncul salah seorang ahli hadits yang sangat
terkenal yaitu ‘Amr ibn Syharil al-Sya’labi. Al-Sya’labi ini telah mendengar
hadits Nabi dari 150 orang sahabat Nabi, seluruh hadit itu hafal didalam kepada
tanpa mengubah redaksinya sedikitpun. [25]
Disamping
itu juga, pada masa ini telah terjadi kajian terhadap historiografi bangsa Arab
yang dimulai pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah. Munculnya buku Kitâb
al-Mulûk wa Akhbâr al-Mâdîn karya Ubayd ibn Syarhah adalah salah satu
buktinya.
[5] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 92
[6] Philip K. Hitti menuliskan bahwa putra-putra khalifah bani Umayyah
biasanya disekolahkan ke bâdiyah, gurun Suriah untuk mempelajari bahasa Arab
murni dan mendalami puisi. Salah satu yang dikirim kedaerah ini adalah Yazid,
putra Mu’awiyah. Pada tempat ini mereka juga diajarkan cara berenang dan
menggunakan busur panah. Nilai-nilai utama yan ditanamkan dalam pendidikan
adalah keberanian dan daya tahan saat ditimpa mushibah (Shabr), mentaati
hak dan kewajiban tetangga (jiwâr), menjaga harga diri (murû’ah),
kedermawanan, keramahtamahan, penghormatan terhadap kaum perempuan dan
pemenuhan janji. Lihat philip K. Hitti, History of the Arab, (New York :
Palgrave Macmilan, 2002) h. 315-320
[7] Loc.cit
[8] Loc.cit
[9] Abudin Nata, op.cit, h. 134
[10] Ahmad Syalabi, op.cit, h. 48-52
[11] Philip K. Hitti, op.cit, h. 304-306
[12] Ibid, h. 305
[13] Loc.cit
[14] Dijelaskan bahwa pada masa kepemimpinan ‘abdul Malik dan al-Walid
terjadi Arabisasi kerajaan. Arabisasi ini meliputi perubahan bahasa yang
digunakan dalam catatan administrasi publik (dewân) dari bahasa Yunani
kedalam bahasa Arab di Irakdan provinsi bagian timur, serta penerbitan uang
logam Arab. Lihat Philip K. Hitti, op.cit, h. 270-271. Selanjutnya juga
dijelaskan dalam buku ini pada h. 300-301
[15] Qadariyah dikenal dengan ssebagai mazhab pemikiran paling awal dalam
Islam, ibid, h. 308. Yaitu salah
satau mazhab pemikiran yang memiliki pemahaman bahwa apapun yang terjadi dalam
kehidupan sudah menjadi keputusan Allah yang tidak bisa diganngu gugat, karena
Allah adalah zat yang maha memberi keputusan, sementara manusia berperan
sebagai makhluk yang hanya bisa menjalani apa yang telah diputuskan Allah.
[16] Kelompok pemuja akal ini
muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H,
tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah
Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia
lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam
menyebarkan bid’ahnya (bid’ah disini
diartikan sesuatu yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi), ia didukung
oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya
bersepakat dalam suatu pemikiran, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat
Allah.(http://asysyariah.com/sejarah-munculnya-mu%E2%80%99tazilah.html, diakses tanggal 29 Desember 2012)
[17]Kutab merupakan lembaga pendidikan yang khusus membidangi tentang
pendidikan menulis dan membaca. Lembaga ini pada masa sebelum kedatangan Islam
merupakan tempat belajar menulis dan membaca oleh bangsa quraisy. Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula
belajar sampai pandai menulis dan membaca adalah : Syofyan ibn Umayyah ibn Abdu
Syam dan Abu Qais ibn abdi Manaf ibn Abdil Malik. Setelah kedatangan Islam,
lembaga ini juga berfungsi sebagai tempat belajar al-Qur’an. Ahmad Syalabi, op.cit,
h. 33-47. Selanjutnya masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam juga berfungsi
sebagai lembaga pendidikan. Pada lembaga ini diajarkan berbagai ilmu, seperti
al-Qur’an, Hadits Fiqih dan lain sebagainya.
[18] Philip K. Hitti, op.cit, h.
[19] Abuddin Nata, op.cit, h. 136-137
[20] ibid
[21] Philip K. Hitti, op.cit, h. 317
[22] Lihat Abuddin Nata, op.cit, h. 137-138, bandingkan dengan
Philip K. Hitti, ibid, h. 316-317
[23] Ibid, 138
[24] Ibid, 140-141
[25] Philip K. Hitti, op.cit, h. 300-306
BAB III
KESIMPULAN
Dari
penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapatlah disimpaikan bahwa
pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah pendidikan sudah mengalami perkembangan
dan dapat dikatakan sebagai awal perkembangan kepada pendidikan yang lebih
profesional. Hal ini bisa dilihat dengan :
1.
Pendiddikan secara eksplisit sudah
memilki Visi dan Misi. Untuk merealisasikan visi dan misi, maka telah ada pada
waktu itu kurikulum, kelembagaan pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan
dan lulusan pendidikan (out put). Adanya komponen-komponen ini dapat dilihat
dari berbagai aktifitas pendidikan yang dilakukan pada saat itu. Namun
kesemuanya tidak diatur dan secara inplisit.
2.
Pendidikan yang diajarkankan pada
masa ini adalah mengenai ke-Islaman, seperti Tauhid, fiqih dan lain.lain. disamping
itu juga sudah ada kajian-kajian pengembangan dinamika intelektual walaupun
baru sebatas cikal-bakal.
3.
Pada masa ini perkembangan bahasa
Arab dengan kajian intelektual juga sudah dimulai, hal ini ditandai dengan
banyaknya para keluarga istana serta para ulama yang menuntut ilmu tentang
kaidah bahasa Arab yang benar.
4.
Cikal-bakal modernisasi dunia
pendidikan telah muncul seiring adanya lembaga al-Baristan. Lembaga ini
bukan hanya berfungsi sebagai tempat belajar teori keilmuan, tetapi juga sudah
menjadi tempat peraktik lapangan bagi para calon dokter. Disamping itu, al-Baristan
juga sudah menjadi semacam laboratorium bagi para dokter pada saat itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Aku berfikir Aku ada