BAB I
PENDAHULUAN
Secara
naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat kehidupannya kepada sesuatu
yang dianggap memiliki kekuatan absolut. Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah
kehidupan mamnusia, baik pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik, manusia
banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang dinggap sakti, keramat
dan lain sebagainya.[1] Pada zaman modern,
dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan seperti
ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini
memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama langit yang berkembang
dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah
keyakinan berdasarkan kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.
Dalam Islam, potensi kebertuhanan
manusia ini difasilitasi dan dibimbing agar menjadi suatu keyakinan yang benar
dan lurus. Bimbingan terhadap manusia ini langsung berasal dari Allah sebagai
zat yang Maha Tinggi, maha Kuasa, Maha Mengetahui. Namun bimbingan itu bukan dalam bentuk Allah yang
membimbing manusia, tetapi melalui risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
Allah Swt.
Para Nabi dan rasul dalam mengemban
amanah dakwah mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah mengabdi dan
menyembah Allah , sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyaat : 56 :
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS 51 : 56)
Tujuan ini hidup manusia sebagaimana
yang dijelaskan dalam surat diatas, mendorong manusia untuk mengkaji berbagai
tingkah laku dan respon manusia itu sendiri dalam menjalankan agama yang telah
diajarkan, kemudian memanage dirinya agar mampu menjadi hamba Allah yang
istiqamah dalam ajaran Islam. Respon tersebut akan melahirkan suasana kejiwaan
tertentu pula bagi seorang ummat Islam. Latar belakang inilah yang akan
melahirkan bahasan tentang psikologi Islam.
Dalam rangka meningkatkan kualitas
kedekatan seorang hamba kepada sang khâliq, sehingga ia menyadari dan
merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan, seorang hamba akan merasakan sebuah
nuansa baru dalam memandang kehidupan. Dalam rentangan sejarah Islam, begitu
banyak orang-orang yang menaruh pehatian tinggi terhadap kajian-kajian mengenai
teori dan peraktik dalam mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah.
Orang-orang tersebut di dalam Islam dikenal sebagai para sufi, dan pada
gilirannya melahirkan disiplin ilmu baru dalam Islam yaitu Ilmu Tasauf. Kondisi
jiwa manusia yang memandang bahwa kehidupan dunia hanyalah media dalam meraih
kehidupan yang hakiki, kemudian memanfaatkan fasilitas keduniaan itu dengan
efektif dan efesien dalam meraih kebahagiaan hidup baik dunia maupun kahirat, hal
ini juga melahirkan cabang ilmu Psikologi Islam yang lain, yaitu Psikologi
Tasauf.
Berangkat dari bahasan diatas, pada
makalah ini akan coba di bahas sebuah tema :Psikologi Tasawuf dan
Pengembangan Kekuatan Spiritual Keagamaan dan ke-Tuhanan Manusia dalam
Perspektif Psikologi Agama Islam.
Mengingat begitu luasnya tema ini,
maka penulis akan membatasi masalah yang akan dibicarakan pada makalah ini.
Adapun batasan tersebut adalah :
1.
Psikologi Tasawuf; Pengertian dan
objek kajiannya
2.
Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam
Psikologi Agama Islam
3.
Pengembangan kekuatan spiritual
keagamaan dalam perspektif Psikologi Agama Islam
4.
Ke-Tuhanan Manusia dalam perspektif
Psikologi Agama Islam
[1]Dalam kajian antropologi Manusia, ada beberapa kepercayaan sebagai
bentuk pelampiasan hasrat bertuhannya manusia.
Kepercayaan tersebut dikelompokkan pada beberapa kelompok yaitu : (1) Dinamisme,
yaitu agama pada masyarakat primitif yang percaya keapada kekuatan (magic)
yang terdapat pada benda-benda yang di anggap keramat, (2) Animisme, yaitu
kepercayaan kepada roh-roh, (3) politeisme, yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa.
Ketiga kelompok agama ini digolongkan kepada agama yang dianut oleh masyarakat
primitif. Lihat Junizar Suratman, Spiritualitas dan Radikalisme dala
Perspektif Filasafat Agama, ( Padang : Puslit Press, 2011), h. 12-13
PEMBAHASAN
A.
Psikologi Tasawuf
1.
Pengertian Psikologi Tasawuf
Membahas Psikologi Tasawuf, pada hakikatnya
menggabungkan dua tema kajian keilmuan yang mandiri menjadi sebuah kajian
keilmuan yang integral. Dalam mendudukkan apa itu psikologi tasawuf, maka perlu dibahas apa yang dimaksud dengan
psikologi dan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Berdasarkan landasan ini,
penulis merasa perlu menyinggung sedikit tentang Psikologi dan Tasawuf.
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko
dan logos. Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu.
Jadi Psikologi dapat diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”. Secara terminologi,
psikologi memiliki pengertian suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang jiwa;
tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa.[1] Atau hal
ihwal kehidupan
jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku manusia, serta
pengembangan hubungan komunikasi
dan interaksinya dengan Tuhan dan lingkungan.[2]
Tasawuf, secara etimologi memiliki arti sikap mental
yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.[3] Sikap jiwa yang demikian
ini pada hakikatnya dapat diartikan sebagai akhlak yang mulia.[4]
Adapun pengertian tasawuf secara terminologi : upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari
berbagai pengaruh kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf dapat
diartikan sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental
ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Psikologi tasawuf merupakan kajian hal ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan,
sikap dan tingkah laku para sufi,
serta pengembangan hubungan komunikasi dan interaksinya dengan Tuhan dan
lingkungan
2.
Objek Kajian Psikologi Tasawuf
Dalam hal kejiwaan, tasawuf cenderung di tafsirkan
sebagai “revolusi bathin” seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia
yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari orang lain, tetapi justru
terfokus kepada kezaliman yang dilakukan oleh dirinya sendiri.[5] Revolusi bathin yang
dilakukan para sufi ini menghantarkan kepada jiwa yang tawadhu’ dan wara’.
Tawadhu’ merupakan kesadaran yang lahir dari jiwa seorang hamba yang
menginsyafi betapa kecil dan hinanya ia dihadapan kebesaran dan kemuliaan sang Khâliq.
Wara’ seorang sufi, terwujud dalam
bentuk tidak adanya respek pada alam, kebesaran dan keindahannya. Bagi mereka
dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan. Oleh karena itu, jiwa yang
terpenjara tersebut berusaha membebasakan diri dan ingin menemukan kemerdekaan
supaya dapat masuk ke Ufuk Langit Ketuhan yang Luhur sebagai tempat
kehadirannya.[6]
Kajian di atas memberikan pemahaman bahwa yang menjadi
objek kajian Psikologi Tasawuf adalah pengalaman sufistik yang dirasakan oleh para sufi. Yaitu pengalaman bathin
yang dilalui dan dirasakan seorang sufi dalam mencari ketenangan dan kecerdasan
bathin serta penyingkapan tabir kedekatan (qarîb)antara hamba
dengan Allah Swt. Pengalaman itu memberikan kondisi jiwa tertentu yaitu jiwa
yang penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan.
Berbicara tentang pengalaman sufistik dalam konteks
tasawuf, sudah menjadi kesepakatan para sufi yang ikhlas, bahwa puncak
pengalaman sufistik yang mereka rasakan tidak dapat ungkapkan dengan bahasa
verbal. Ketika sebagian para sufi berusaha menggambarkannya dengan bahasa yang
sangat ringkas, mereka memperlihatkan bahwa kalimat-kalimat yang mereka
kemukakan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pengalaman-pengalaman sufistik
tersebut.[7] Walaupun demikian, dampak
kejiwaan bagi seorang sufi setelah melalui berbagai macam pengalaman sufistik
dapat di teliti. Dalam pandangan Zoehner, pengalaman sufistik manusia dapat dibagi
pada tiga jenis yaitu : (a) pengalaman sufistik alami, (b) Pengalaman Sufistik
ruh atau jiwa dan (c) pengalaman sufistik ke-Tuhanan.[8]
a)
Pengalaman sufistik alami
Yaitu pengalaman sufistik yang tidak berkaitan langung dengan
tasawuf. Pemikiran ke-Tuhanan dalam
sufistik alami ini terabaikan dan berada dibawah pengaruh anestetik.
Dalam pengalaman alami ini seseorang – dengan cara anestetik dan melalui seni pengolahan
pernafasan seperti Yoga – merasakan keterhanyutan dalam suasana alam jagad raya
yang dahsyat. Persaksian yang dialami oleh seseorang dalam pengaruh keadaan
anastetik (terbius) tidak bisa diterima oleh nalar. Sebab apa yang terihat oleh
seorang pengaruh keadaan seperti itu hanyalah sekedar ilusi dan fantasi.[9]
b)
Pengalaman sufistik ruh atau jiwa
Pengalaman ini merupakan cerminan esensi tasawuf. Di dalam
kajian ilmu tasawuf, pengalaman sufistik atau ruh diisitilahkan dengan hâl.
Menurut Harun Nasution dalam Abuddin Nata, hâl merupakan sikap mental
seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan lain sebagainya.[10] Hâl diperdapat oleh seorang sufi sebagai anugerah
dan rahmat Allah, ia hadir dalam jiwa seorang sufi sifatnya sementara, datang
dan pergi bagi seoran sufi dalam perjalanannya mendekati Allah.[11]
Yang dimaksud dengan hâl pada masalah ini adalah takut
(al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu’), patuh (at-Taqwa),
ikhlas (ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd),
berterima kasih (al-Syukr).
c)
Pengalaman Sufistik ke-Tuhanan
Pengalaman sufistik seperti ini bertujuan untuk mengembalikan
ruh kepada Tuhannya. Pemikiran ke-Tuhanan ini muncul dalam bentuk yang beragam
bagi para sufi.
Dalam ajaran tasawuf pengalaman sufistik ke-Tuhanan merupakan
puncak tertinggi kejiwaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
mengungkapkannya, para tokoh sufi memiliki cara pengungkapan yang berbeda,
diantara pengalaman sufistik yang dirasakan oleh para sufi adalah
1)
Ma’rifah, tokohnya adalah al-Ghazali
dan Zunnun al-Misri. Ma’rifah disini memiliki pengertian mengatahui
rahasia-rahasia Tuhan melalui hati sanubari, sehingga dengan hati sanubari
seorang sufi dapat melihat Tuhan.[12]
2)
Fana, Baqa dan ittihaad. Tokohnya Abu
Yazid al-Bustami, yaitu bersatunya ruhaniyah dan bathiniyah manusia dengan zat
Allah dengan tidak ada pemisahan.
3)
Hulul, tokohnya al-Halaj. Hulul
diartikan oleh para sufi sebagai suatu tahap dimana manusia Tuhan bersatu
secara ruhaniah.[13]
4)
Wahdah al-Wujud. Tokohnya Ibn A’rabi.
Wahdatul Wujud diartikan sebagai pengalaman sufistik yang dirasakan oleh
seorang sufi, pengalaman ini terjadi dalam bentuk bersatunya manusia dengan zat
Allah secara zahir dan bathin.[14]
B.
Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam
Psikologi Agama Islam Modern.
Dalam sejarah perkembangan ilmu
Psikologi, Psikologi agama Islam baru muncul pada era tahun 60-an. Disiplin ini mulai dikenal ketika, Aulia (1961) menulis
buku tentang agama dan kesehatan jiwa. Kemudian
Zakiyyah Daradjat memunculkan sebuah buku yang membahas tentang Ilmu
Jiwa Agama (1970-an).[15]
Psikologi tasawuf sebagai salah satu
cabang dalam Psikologi Islam, sangat berkatian erat dengan psikologi agama
Islam. Jika dilihat dari segi objek kajiannya, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas bahwa psikologi tasawuf mengkaji tentang pengalaman bathin
seorang sufi yang mampu memberikan kondisi jiwa yang selamat (qalbun salîm),
jiwa yang tenang (qalbun muthmainnah) bagi sisufi itu sendiri. Sementara
psikologi agama merupakan ilmu yang mengkaji tentang bathin terhadap
keyakinannya kepada Allah, hari kemudian da masalah ghaib lainnya.[16] Jika dilihat dari objek
kajian kedua disiplin ilmu ini, maka psikologi tasawuf merupakan salah satu
bentuk terapi bagi ummat Islam dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah dalam
arti luas.
C.
Pengembangan Kekuatan Spiritual
Keagamaan dalam Perspektif Psikologi Agama Islam
Psikologi agama Islam mengkaji
tentang semangat beragama dan kesadaran beragama. Semangat beragama terlihat
dalam bentuk sejauh mana seseorang dapat mengamalkan dan menjalankan perintah
agama dengan istiqomah. Sedangkan kesadaran beragama terlihat pada kemampuan
seseorang dalam menangkap nilai-nilai kebaikan dalam ajaran agama Islam secara
inklusif.
Spiritualias merupakan salah satu
dimensi kehidupan yang dianugerahkan
Allah kepada manusia. Dimensi ini terwujud dalam bentuk kemampuan dalam
mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas
kehidupan. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the
will to meaning) yang memotivasi manusia untuk senantiasa mencari makna
hidup (the meaning of life), dan mendambakan hidup bermakna (the
meaningfull life).[17]
Hasrat untuk hidup bermakna (the
will to meaning) dapat diartikan sebagai keinginan diri untuk dapat berguna
dan berharga bagi keluarganya, lingkungan serta masyarakatnya, serta bagi
dirinya sendiri.[18]
Keinginan tersebut akan memotivasi seseoerang untuk melakukan aktifitas kebaikan
dan amal shaleh agar makna hidup dapat diraih. Keberhasilan dalam meraih hidup
bermakna, disinilah seseorang akan menemukan kebahagiaan dan ketenangan. [19]
Pada abad 21, ketika manusia sudah
berada pada titik jenuh dalam menjalani hidup yang berlandaskan pragmatisme
materialistik, sebagai ideologi yang kering dari nilai dan kekuatan spiritual.
Bermunculanlah berbagai macam usaha-usaha baru bagi para ilmuan barat untuk dapat
membebaskan manusia dari kejenuhan dan kegundahgulanaan dalam kehidupannya.
Pada awal tahun 2000, muncul sebuah buku yang menggemparkan, ditulis oleh 2
orang penulis muda yaitu Donah Zohar dan Ian marshall yaitu SQ : Spiritual
Intelligence the Ultimate Intelligence. Dalam buku ini di katakan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan kecerdasan tertinggi setelah kecerdasan intelektual,
kecerdasan Emosional dan kecerdasan moral.[20]
Didalam Islam, spiritual merupakan
sebuah kekuatan yang dahsyat. Ari Ginanjar memberikan gambaran bahwa dengan
kekuatan spiritual seseorang yang berada dalam kondisi sangat dramatis, panik
dan takut yang luar biasa, ketika
kekuatan spiritual hadir -kepasrahan penuh kepada Allah- dalam jiwa, kondisi
tersebut dapat ternyata diorganisir dengan baik.[21]
Kekuatan spiritual dalam pengembangannya,
terletak pada kemampuan untuk meraih makna hidup. Dalam proses ini, agar usaha
yang dilakukan mampu mengarahkan seseorang pada pencapaian hidup yang bermakna,
salah satunya adalah dengan memberikan konseling. Jika dilihat dari perspektif
psikologi agama Islam, tentu konseling yang di tuntut adalah konseling Islami.
Yahya Jaya memformuliasikan sebuah
konsep dalam hal metode konseling Islami, yaitu dengan proses penyucian jiwa (tazkiyat
al-Nafs). Dalam hal penyucian jiwa ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan, yaitu mengoptimalkan hubungan vertikal manusia dengan sang
khalik (hablum minallah).
Kemudian tidak menafikkan qodrat manusia itu sendiri sebagi makhluk sosial
dengan selalu memperhatikan dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia (hablum
minannas), hubungan dengan sesama makhluk (hablum minalalam), dan
hubungan dengan dirinya sendiri (hablum minanannafs).[22]
Secara praktis, usaha dalam menyucikan jiwa sebagai proses dalam
pencarian makna hidup, Ari ginanjar memberikan beberapa langkah dalam
mengembangkannya :
1.
Menggantungkan segala asa kepada Allah SWT.
Yaitu menyadari bahwa tidak ada kekuatan yang dapat memberikan keselamatan
kecuali kekuatan-Nya (Zero Mind Process).
Artinya : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
2. Membangun
keyakinan bahwa setiap aktifitas merupakan jalan ibadah kepada Allah Swt. Seseorang
yang meyakini hal seperti ini maka akan memiliki semangat berkarya yang luar
biasa, sebab dalam beraktifitas ia tidak
mengutamakan materi namun keikhlasan untuk selalu berbuat yang terbaik. Dalam
arti lain mendengarkan suara hati nurani ( Melepas belenggu dari
kepentingan-kepentingan prgamatis semata )
3.
Merasa bahwa Allah hadir dalam setiap
aktifitas kehidupan. Sehingga timbul kontrol yang kuat terhadap
perilaku-perilaku negatif dalam kehidupan seorang hamba.
D.
Ke-Tuhanan Manusia dalam Perspektif
Psikologi Agama Islam
Dalam membahas masalah ini,
setidaknya ada beberapa aspek yang akan dijelaskan. Psikologi Agama Islam
sebagai salah satu disiplin ilmu, maka ada beberapa masalah yang akan menjadi
topik kajian diantaranya seperti yang di jelaskan oleh ramayulis :
1.
Bagaimana pengalaman manusia itu dalam
hubungannya dengan keyakinannya kepada Tuhannya.
2.
Bagaimana sifat jiwanya terhadap
Tuhannya
3.
Bagaimana pengalaman tentang dirinya
dalam menyerahkan diri kepada Tuhannya.[23]
Melihat dari masalah diatas, maka ke-Tuhanan manusia
dalam perspektif Psikologi Agama Islam merupakan konsep keyakinan, sikap jiwa
dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Pada bahasan selanjutnya, penulis akan
coba menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan
tersebut.
1.
Iman
Iman memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha
berkuasa. Keimanan akan menghantarkan sesorang kepada ketaatan dalam
menjalankan perintah agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
perintah-perintah sunnah lainnya.[24] Jika demikian, maka iman
akan melahirkan tingkah laku ketaatan pada diri seseorang yang dilakukan hanya
dengan keikhlasan semata. Orang yang melaksanakan shalat hanya mengharapkan
imbalan (fahala) yang datang dari Allah, dan imbalan itu mereka yakini pasti
ada.
2.
Akhlak Mulia
Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak
memiliki arti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin
manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya.[25] Bagi seorang hamba yang
memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan tingkah laku atau tabia’at yang
baik pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang memberikan manfaat bagi diri
dan lingkungannya. akhlak mulia itu bisa lahir dalam bentuk, diantaranya :
a.
Tawadhu’
Tawadhu’ memeliki pengertian
sifat rendah hati. Yaitu sifat yang tidak mau membanggakan diri atas kelebihan
dan keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya. Seorang yang tawadhu’
menyadari bahwa apapun yan ia miliki; ilmu, kekayaan, jabatan, pangkat dan
lain-lain, merupakan anugerah dan amanah
dari Allah. Itu semua justru dijadikan sebagai media dalam rangka menyadari
betapa maha besarnya dan maha kuasanya Allah.
b.
Wara’
Yaitu sikap yang selalu
waspada terhadap hal-hal yang dapat merendahkan martabat sebagai hamba Allah.
Seorang yang memiliki sifat wara’ selalu berusaha menghindarkan diri dari hal
yang bersifat subhat, sebab itu akan menjadikan hijab bagi dirinya terhadap
kebesaran Allah yang Maha Mulia.
c.
Ikhlas
Ikhlas merupaka perbuatan
atau tingkah laku yang dilakukan oleh seorang hamba hanya diperuntukkan bagai
Allah semata.[26]
Apapun katifitas kehidupannya dalam rangka mengarungi lautan kehidupan,
dimaknai sebagai ibadah kepada Allah Swt.
d.
Sabar
Merupakan sikap yang tangguh
dalam menghadapi problematika kehidupan. Orang yang sabar tidak mudah putus asa
serta yakin akan rahmat Allah dalam setiap peritiwa kehidupan yang dialami,
apapun itu bentuknya.[27] Firman Allah QS 94 : 5-6
Artinya : Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.( QS :
al-Insyirah : 5-6)
e.
Syukur
Yaitu penggunaan seluruh
nikmat Allah oleh seorang hamba –baik dalam bentuk pendengaran, penglihatan,
hati, maupun yang lainnya- sesuai dengan tujuan penciptaanya.[28] Semua anugerah yang
diberikan Allah kepada manusia, terutama nikmat panca indera diberikan oleh Allah
memiliki tujuan. Pendengaran Allah berikan bertuajuan agar manusia dapat
mendengarkan pengajaran, perkatan yang baik. Begitu juga dengan nuikmat yang
lain.
3.
Tawakkal.
Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal.
Allahlah sebagai penyebab segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai seoarang
hamba menayadari betapa didalamnya dirinya tidak ada kekuatan. Sungguh pemilik
kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa merupakan sikap hidup yang mampu
menghantarkan seseorang kepada ketenangan hidup.
Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan penyerahan yang tidak menafikkan sunnatullah yang telah
menjadi ketetapan Allah. Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan
berikhtiar, karena segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab
akibat, walaupun hal itu semua tidak akan mutlak, jika Allah berkehendak.
[1]Pengertian
psikologi sebenarnya mememiliki ragam dimensi pemikiran. Seperti pengertian
psikologi yang dipelopori oleh Wilhem Wund : Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran,, perhatian, persepsi,
inteligensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini berusaha memisahkan antara filsafat
dan psikologi, sehingga fokus kajiannya adalah mental. Namun pemisahan ini
belum sempurna sehingga masih berbaur antara kajian filasafat dengan psikologi.
Kemudian John Watson juga mempelopori pengertian psikologi yang lain yaitu : Psikologi
merupakan ilmu pengetahuan tentang perikaku organisme, seperti perilaku kucing
terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Pengertian
ini memiliki fokus kajian pada gejala-gejala jiwa yang dilakukan melalui
penelaahan perilaku organisme. Dalam wacana psikologi kontemporer, pengertian
inilah yang lazim di pakai, karena teori ini memandang bahwa semua organisme
memiliki gejala kejiwaan. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun
secara empirik hakikat jiwa itu tidak dapat diketahui, yang dapat diketahui
hanya proses, fungsi dan kondisi kejiwaan. Bagi kaum Behavioristik jiwa
digeneralisasikan atas semua organisme (makhluk), tanpa memperdulikan perbedaam
jiwa manusia dengan jiwa binatang. Bagi mereka (kaum Behavioristik) yang
terpenting adalah bagaimana memberi
ransangan atau stimulus pada jiwa sehingga mampu meresponnya dalam bentuk
perilaku. Dalam kajian Psikologi Islam, sebagai induk
dari cabang-cabang Ilmu psikologi dalam Islam, psikologi diartikan sebagai
“Studi tentang jiwa”. Pengertian dianggap paling cocok dengan Psikologi Islam
sebagai cabang ilmu mandiri yang masih berada pada proses awal dan memandang
jiwa manusia sebagai jiwa yang khusus dan tidak sama dengan jiwa binatang.
Lihat : Abdul Mujib CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam; (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002) Edisi 1 Cet.2 h.
1-3
[2] Yahya
Jaya, dikutip melalui Kuliah Seminar tentang Psikologi Agama Islam Modern,
pada tanggal 25 maret 2012 di lokal PI3
[3] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (PT. Raja Grafindo Persada, 1997) Edisi. 1 Cet. 2 h. 179-180.
[4] Dalam
segi bahasa, sebenarnya arti kata Tasawuf memiliki bermacam perkiraan asal
kata. Diantaranya, ada yang mengatakan tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu
sophos yang memiliki pengertian
Hikmat. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari bahasa Arab
dengan berbagai macam pandangan pula. Diantaranya al-Suffah (ahl al-Suffah)
orang yang ikut bersama Nabi pindah dari kota Mekka ke Madinah, saf (barisan),
sufi (suci), dan suf (kain wol). Kata-kata tersebut, sebagaimana
dijelaskan oleh Harun Nasution dalam Abudin Nata, bisa-bisa saja dihubungkan
dengan tasawuf. Kata ahl as-Suffah misalnya, menggambarkan keadaan yang
rela mencurahkan jiwa dan raga, tenaga, harta dan sebagainya hanya untuk Allah.
[5] Amir
An-Najar (penj : Ija Sutana) at-Tashawwuf An-Nafsi (Psikoterapi Sufistik
dalam Kehidupan Modern), Kairo :
al-Hai’ah al-Mishriyah Al-‘Ammah li Kitab; Jakarta : Penerbit Hikmah PT. Mizan
Publika, cet 1 2004, h. 153
[6] Ibid
[7] Ibid,
h. 164
[8] Ibid,
h. 165
[9] Ibid
[10]
Abuddin Nata, op.cit, h. 205
[11] Amir
an-Najar, loc. cit
[12] Lihat
H. A Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2005) cet. 3, h.
252-259, Bandingkan dengan Abuddin Nata, h. 219-230
[13]
Abuddin Nata, op.cit, h. 239-246
[14] Ibid,
h. 247-255
[15] http://www.anneahira.com/psikologi-agama-islam.htm,
diakses tanggal 31 Maret 2012
[16]
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004) cet. Ke-7, h.
7
[17]
Abdul Mujib Cs, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), cet. 2, h. 325
[18]
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna;Kisah Pribadi dengan
Pengalaman Tragis (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996) cet 1, h. 25
[19] Ibid,
h. 26-31
[20]
Danah Zohar and Ian Marshall, SQ : Spiritual Quotion the Ultimate
Intelligence, (Soho Square, London : Vloomsbury Publishing, 2000), h. 3
[21]
Contoh peranan kekuatan spiritual ini di ungkapkan oleh Ari Ginanjar dengan
mengemukakan kisah seorang pilot pesawat boing 737 mampu menyelamatkan
penumpangnya. Dikisahkan bahwa pesawat tersebut jatuh dari ketinggian kurang
lebih 5 km diatas udara, namun ketika sang kapten peasawat berada dalam
kepasrahan yang tinggi, justeru ia bisa mencarikan solusi baik untuk
mendaratkan pesawatnya kedalam sungai. Lihat Ari Ginanjar Rahasia Sukses
membangkitkan ESQ Power; Sebuah inner Journey melalui al-Ihsan, (Jakarta :
Penerbit Arga, 2003) cet ke-5 th 2004, h. 121-132
[22]
Yahya Jaya, Bimbingan Konseling dalam Agama Islam, ( Angkasa Raya, 2004)
cet. 10, h. 165-178
[23]
Ramayulis, opcit, h. 3
[24]
Fariq bin Gasim Anuz, Bengkel Akhlak, (Jakarat : Penerbit Darus Sunnah
Press, 2009) cet. 1, h. 48-53
[25] Ibid,
h. 12
[26] Amir
an-Najar, opcit, h. 17-24
[27] Ibid,
h. 73-76
[28] Ibid,
h. 90
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang
telah dijelaskanpada pembahasan sebelumnya, maka dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Psikologi
tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki objek kajian tentang
pengalaman batin seorang sufi dalam menjalani kehidan tasawufnya.
2.
Psikologi
tasawuf merupakan dan psikologi agama Islam merupakan cabang dari psikologi
Islam. Antara psikologi Tasawuf dengan psikologi agama Islam memiliki hibungan
yang erat. Hubungan keduanya ibarat dua mata uang yang tidak dipisahkan, sebab
antara psikologi Tasawuf dengan Psikologi Agama Islam berfungsi saling
menguatkan dan melengkapi.
3.
Pengembangan
kekuatan spiritual dalam psikologi agama Islam yaitu dengan membina kualitas
hubungan dalam kehidupan manusia. Ada 4 jenis hubungan yang selalu ada dalam
kehidupan manusia yaitu (1) Hubungan dengan Allah (hablum minallah), (2)
hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), (3) Hubungan dengan
sesama makhluk (hablum minal ‘alam), (4) Hubungan dengan dirinya sendiri
(hablum minan nafs). Pengembangn kualitas hubangan diatas akan dapat
menghantarakan seseorang dalam meraih makna hidup.
4.
Ke-Tuhanan
Manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam Modern, merupakan proses
peningkatan kualitas hidup. Tuhan merupakan zat yang maha kuasa, keyakinan
kepadanya akan menghantarkan seseorang untuk melakukan kebajikan dan
meninggalkan kemaksiatan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anuz, Fariq
Gasim, Bengkel Akhlak, (Jakarta : Penerbit Darus Sunnah Press, 2009)
An-Najar, Amir,
Dr, at-Tashawuf an-Nafsi ( Kairo : al-Hay’ah Mishriyah al-‘Ammah li
Kitab, 2002), Penj : Ija Sutana, Judul Bahasa Indonesia : Psikoterapi Sufistik
(Jakarta : Penerbit al-Hikmah PT Mizan Publika, 2004)
Al-Ghazali, Abu
Hamid; Penjernih Hati Penghapus Dosa, disadur dari kitab Ihya Ulumuddin
Bagian Tobat, Penyadur Drs, Rosihan Anwar, M.Ag, (Bandung : CV Pustaka
Setia, th. 2002)
Agustian, Ari Ginanjar,
Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui al-Ikhsan (Jakarta
: Penerbit Arga, 2003) cet. Kelima, th. 2004
Bastaman, Hanna
Djumhana, Meraih Hidup Bermakna; Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis,
(Jakarta : Penerbit Paramadina, th. 1996)
Fakhry, Majid, Etika
dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), judul asli, Ethical
Theories in Islam, Penj : Zakiyuddin Baidhawy.
Jaya. Yahya,
Prof. Dr. MA, Bimbingan Konseling Agama Islam, (Angkasa raya), th. 2004
Mujib, Abdul, M.Ag
Cs, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)
cet. Ke-2, th. 2002
--------, Kepribadian
dalam Psikologi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), th. 2006
Mustofa, A. H,
Drs; Akhlak Tasawuf, ( Bandung : CV Pustaka Setia), th. 2005
Nata, Abuddi. H.
Drs, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), cet. II
th. 1996
Ramayulis, H.
Prof. Dr, Psikologi Agama, ( Jakarta : Kalam Mulia ), cet. 7 th. 2002
Suratman,
Junizar. M.Ag, Spiritualitas dan Radikalisme; Perspektif Filsafat Agama, (Padang
: Puslit Press), th. 2011
Tafsir. Ahmad,
Dr. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya) Cet. Ke-4 th. 2001
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Aku berfikir Aku ada