MOTTO :

junaidi678.blogspot.com :
TIADA HARI TANPA INOVASI

Senin, 29 April 2013


METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN :
ILMU PENGATAHUAN SOSIAL DAN ILMU PENGETAHUAN KEMANUSAAN
oleh : JUNAIDI PANUSUNAN


A.     Pendahuluan

Ilmu pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan, merupakan bentuk disiplin ilmu yang dipandang masih muda. Secara kasar, keberadaannya baru muncul pada abad ke-19, kendati akar-akarnya sudah dapat dijumpai pada masa kuno.[1]
Pada abad ke-19, diawali dengan pemisahan ilmu pengetahuan dengan dortrin agama –sebagai bentuk era baru bagi dunia Barat dan perkembangan ini diberi nama Renaissance- serta berkembangnya aliran Humanisme, telah memberikan kesadaran baru bagi para cendikiawan tentang peranan, kemampuan dan martabat manusia dengan tidak berdasarkan iman dan agama. Dukungan atas kesadaran ini dicari dan ditemukan dalam studi tentang sastra, seni, dan filsafat pada masa Yunani kuno prakristiani.[2]
Selanjutnya, revolusi Perancis yang juga terjadi pada abad ke-19, menjadi titik defenitif atas perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Pada waktu itu secara politis, bahasan atas ilmu-ilmu pengetahuan sosial menjadi sebuah tuntutan.[3]
Kesadaran akan kedudukan khas ilmu-ilmu tentang kemanusiaan –termasuk didalamnya ilmu-ilmu sosial sebagai bagian dari ilmu kemanusiaan– dibandingkan  ilmu-ilmu empiris lainnya, menjadi suatu pembahasan khusus oleh para cendikia. Hal ini dengan paling jelas dirumuskan oleh Aguste Comte, orang yang dianggap sebagai “Bapak sosiologi”. Menurutnya, sesudah zaman teologis dan metafisis, tibalah zaman ilmu-ilmu positif – Comte membahasakan dengan ilmu-ilmu positif terhadap ilmu-ilmu yang bersifat empiris – yang defenitif. Ia (Aguste Comte), membedakan  ilmu mulai dari yang paling abstrak : matematika,ilmu falak, kimia, ilmu hayat, fisika sosial – kajian-kajian sosial disitilahkan dengan fisika sosial. Semua ilmu dalam keadaan “jadi”-nya seolah ingin mendekati ciri deduktif dan kepastian matematika, namun semuanya tidak pernah berhasil. Yang paling dekat adalah ilmu falak dan yang paling jauh adalah sosiologi, kendati ilmu inipun mencita-citakan bagan deduktif.[4]
Tidak lama kemudian tampillah banyak ilmuan terkemuka bidang sosiologi.  Diantaranya adalah  : Emile. Durkheim, 1853-1919; Lucien Levy-Bruhl, 1857-1939. Dalam bidang Psikologi muncul pula para tokoh, salah satunya adalah Sigmund Freud, 1856-1939.
Sekelumit latar belakang hadirnya ilmu yang membahas tentang ilmu-ilmu kemanusiaan yang telah dipaparkan diatas, memberikan gambaran tentang keadaan dan posisi ilmu pengetahuan kemanusiaan. Ternyata sejak adanya pengkajian keilmuan, ilmu pengetahuan tentang kamanusiaan juga sudah menjadi bagian yang dibahas walaupun belum disadari. Kemunculannya secara defenitif lebih kemudian dibanding dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, memberikan pengaruh bagi pembahasan dan pengkajian ilmu kemanusiaan itu sendiri. Pengaruh ilmu pengetahuan alam terhadap kajian ilmu pengetahuan kemanusiaan yang paling jelas adalah dalam hal metodologi. Kondisi seperti ini memberikan kritik yang banyak, sebab dari segi objek bahasan, ilmu pengetahuan kemanusiaan sangatlah jauh berbeda  dengan objek bahasan ilmu pengetahuan alam.
Bagaimanakah ilmu pengetahuan pada masa kontemporer, apa saja yang menjadi objek bahasannya, bagiamana karakteristiknya?. Pertanyaan  ini akan coba penulis bahas pada bahasan selanjutnya.

B.     Pembahasan
1.      Ilmu Pengetahuan Sosial
a.       Pengertian Ilmu Sosial
Secara singkat, ilmu pengetahuan sosial dapat didefenisikan sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dalam hidup berkelompok sosial maupun perorangan, baik dalam lingkup kecil maupun lingkup yang besar.[5] Wujud dari bentuk tingkahlaku itu disebut sebagai gejala sosial, yaitu gejala yang memiliki banyak dimensi.
b.      Karakteristik Ilmu Pengetahuan Sosial
1)         Objek Penelaahan yang komplek.
Gejala sosial merupakan gejala yang sangat komplek dibanding dengan gejala alami. Jika dibandingkan, maka ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala, yaitu gejala yang bersifat fisik.
Gejala sosial juga memiliki karakteristik fisik, namun tidak sampai disitu saja, diperlukan penejelasan yang lebih dalam untuk mampu menejelaskan gejala tersebut.[6] Salah satu contoh ketika seseorang berkelahi dengan beradu fisik, maka  hukum-hukum ilmu biologi, kimia, ilmu alam akan mampu menerangkan sebagian kejadian tersebut, namun tidak bisa menyentuh bagian esensi dari kejadian perkelahian itu. Mengapa orang sampai berkelahi, bagaimana perasaan orang yang berkelahi, bagaimana tanggapan orang sekitarnya dalam merespon perkelahian tersebut. Hal ini memberikan gambaran betapa rumit dan kompleksnya variabel-variabel penelitian dalam ilmu sosial.
2)         Kesukaran dalam Pengamatan
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi pada masa lalu.[7] Artinya pengamatan langsung dengan hanya memanfaatkan kekuatan indrawi tidak semuanya dapat dilakukan. Karena pembahasan tentang masalah sosial memiliki karakteristik yang berbeda.[8] Dalam bidang ilmu sosial, tidak ada peluang untuk bisa merekontruksi masa kanak-kanak seorang yang sudah dewasa. Berbeda dengan ilmu alam, seperti ilmu kimia; dapat mengulang kejadian yang sama dan mengamati langsung suatu kejadian, walaupun dalam kurun waktu yang sangat berbeda. Sebab ilmu sosial akan selalu berubah seiring berkembangan zaman dan perubahan waktu. Suatu kejadian yang sama pada tempat atau waktu yang berbeda, akan menghasilkan sesuatu yang persis sama
3)         Objek Penelaahan yang tidak Terulang
Gejala sosial banyak bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri di mana mungkin saja terjadi pengulangan yang sama dalam waktu yang berbeda, tetapi tak pernah serupa seluruhnya. Sehingga dalam ilmu sosial, hanya bisa ditarik kesimpulan yang bersifat umum dari kejadian-kejadian yang mempunyai faktor yang serupa.[9] Bervariasinya kejadian-kejadian sosial, ditambah dengan sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.
4)         Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial
Ilmu-ilmu sosial tidak pernah terlepas dari jalinan unsur-unsur kejadian sosial. Kesimpulan umum mengenai suatu gejala sosial bisa mempengaruhi kegiatan sosial tersebut.[10] Jika dalam ilmu sosial, sorang ahli meramalkan 600 orang akan meninggal dalam kecelakaan lalu lintas pada lebaran yang akan datang, sesuai dengan data dan kajian teorinya, maka ramalan itu pasti akan meleset. Sebab orang akan terkejut dengan pengumuman tersebut dan melakukan berbagai usaha dan tindakan preventif dalam rangka mengurangi bahaya kecelakaan.
Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral dari objek kehidupan yang ditelaahnya. Seorang penelitia ilmu sosial dalam melakukan penelaahan yang ia lakukan akan selalu dipengaruhi oleh minat, nilai-nilai hidupnya, kegemaran dan alin sebagainya. Kondisi ini menjadikan bahasan bidang ilmu sosial sangat sulit untuk dapat menghasilakan pengkajian yang benar-benar objektif.
c.       Eksistensi ilmu Pengetahuan sosial dala kehidupan manusia
Sebagaimana yang telah di singgung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa ilmu sosial, secara metodologi masih dipandang belum mandiri, hal ini disebabkan formulasi yang efektif yang bersifat defenitif dan generalistik dalam menelaah ilmu sosial belum bisa ditemukan dan memungkinkan untuk tidak pernah bisa ditemukan. Namun keberadaan ilmu sosial sangatlah perlu bagi kehidupan manusia. Sebab dalam kajian ilmu sosial akan dapat ditemukan nilai dan martabat dari kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu sosial akan memberikan wawasan bagi manusia itu sendiri tentang nilai dan manfaat dari ilmu yang ditelaahnya (termasuk didalamnya ilmu alam). Ilmu sosial akan menjadi mengendali dari keterbebasan ilmu alam dalam membahas objek kajiannya. Peristiwa bom atom yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki menjadi gambaran betapa menakutkannya suatu kajian keilmuan yang dilakukan oleh seorang ahli ilmu alam, ketika tidak memandang dan mengkaji penelaahannya dari sudut pandang sosial.
Atas dasar kajian ini, maka seorang ilmuan disamping memiliki tanggung jawab atas kajian yang ia lakukan, juga memiliki tanggung jawab sosial. Yaitu sejauh mana kajian yang ia lakukan mampu memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat banyak.[11]
2.      Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan.
a)      Pengertian
Yang dimaksud dengan ilmu kemanusaan (human Sciences) adalah ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek kehidupannya : ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar, dan banyak aspek lainnya.[12] Kajian ilmu kemanusiaan memiliki banyak bagian seperti psikologi, politik, ekonomi dan lain sabagainya, termasuk didalamnya ilmu sosial.
b)       Ciri-ciri khas ilmu kemanusiaan
Dalam perkembangan hari ini, keberadaan tentang ilmu-ilmu kemanusiaan semakin disadari. Dalam mlakukan penelaahan, seperti pengamatan, penelitian dan percobaan empiris, ilmu-ilmu kemanusiaan berusaha mengembangkan hukum dan teori ilmiah menurut irama yang mirip dengan irama ilmu alam. Namun dalam pembahasan dan penelaahanya, ilmu-ilmu kemanusian memiliki ciri khas sebagai berikut : 
1)         Manusia sebagai Objek dan Subjek dalam Ilmu kemanusiaan.
Dalam melakukan penngkajian dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, maka manusia miliki dua fungsi, yaitu sebagai peneliti sekaligus menjadi objek penelitian. Keberadaan manusia objek dan sekaligus subjek penelitian, menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan lebih dekat dengan filsafat, terutama ketika berbicara tentang teori.[13] Inilah yang menjadi lehkhusuan objek pembahasan dari ilmu-ilmu tentnag kemanusian yaitu manusia itu sendiri.
Objek kajian ilmu-ilmu kemanusiaan, jika dilihat dari segi ruang dan waktu – merupakan dua ciri dasariyah dari jagad semester material yang dihuni manusia– maka ruang dan waktu itu sendiri bisa menjadi “ukuran” dari pengkajian ilmu-ilmu tentang kemanusiaan. Namun  runag dan waktu semata tidaklah memadai dan tidak sesuai dengan penagalaman manusia itu sendiri. oleh manusia ruang dihayati secara nyata dalam lingkungan pergaulan atau masyarakat, sedangkan waktu dialami dan dipandang sebagai sejarah yang jauh melampaui rangkaian-rangkaian peristiwa semata-mata.  Dalam hal ilmu alam, keberadaan ruang dan waktu di pandang “mati”, maksudnya semua ruang dan waktu dapat dipandang sama, hanya yang berbeda bentuk dan ukuran serta urutannya saja.  Sehingga  data akan tetap sama dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam linkungan massyarakat sosial, data sanagtlah banyak dan hampir tidak bisa diperangkakan. Yang satu berbeda dengan yang lain, sebab peristiwa yang berkaitan dengan kemanusiaan manusia akan memiliki keunikan tersendiri dari masing-masing manusia itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka cara berfikir dalam membahas ilmu-ilmu kemanusiaan yang dipakai adalah cara berfikir analog. Cara berfikir analog diartikan sebagai pandangan bahwa setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam kesamaan itu juga ada perbedaan.[14]
2)         Titik Pangkal dan Kriteria Kebenaran
Titik pangkal kebenaran dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan akan sangat dipengaruhi oleh menusia itu sendiri. jika dibandingkan dengan ilmu alam, maka manusia sebagai subjek penelitian akan terpisah dengan objek penelitian yaitu alam yang akan ia kaji. Maka dalam ilmu alam “pengamatan murni” dapat dilakukan oleh seorang peneliti. Yaitu pengamatan tanpa yang dilakukan tanpa adanya prasangka. Dalam ilmu kemanusiaan, maka seorang peneliti tidak akan mampu melepaskan dirinya sebegai manusia pula sebagai objek yang ditelitinya. 
Untuk mengungkap suatu kebenaran dalam kajian ilmu kemanusiaan dibutuhkan penafsiran secara mendalam dari penliti tentang peristiwa dan kejadian yang ada, berdasarkan kemampuan yang ada dalam diri sipengamat atau si peneliti sendiri. Cara  seperti ini disebut dengan verstehen, yaitu mengerti atau memahami atau menfsirkan peristiwa.[15]
Dari pembahasan di atas, dapat disadari bahwa tidak terdapat cara atau bentuk yang sama dalam membahas semua cabang ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain tidak ada teori yang baku dalam mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan.
3)         Subjek dan Objek saling Mempengaruhi
Sebagai akibat dari ciri-ciri yang telah di bahas di atas, lebih lanjut dapat di fahami bahwa dalam ilmu-ilmu kemanusiaan,  terdapat pengaruh timbal balik antara subjek dan objek tanpa henti dan amat intensif. Pembahasan ilmu-ilmu kemanusiaan, peneliti akan selalu dipengaruhi kondisi dirinya sendiri dan kondisi masyarakat atau orang yang ia teliti.


C.     Kesimpulan
1.      Ilmu-ilmu-pengetahuan sosial, secara epistimologi, eskistensinya banyak menuai perdebatan dari para ahli. Hal  ini disebabkan dalam segi metodologi ilmu-ilmu pengetahuan sosial masih meniru ilmu pengetahuan Alam
2.      Ilmu-ilmu Pengetahuan sosial, objek penelitiannya adalah gejala sosial pada manusia. Gejala sosial memiliki bermacam-macam variabel dan bersifat dinamis. Sehingga tidak ada teori/hukum tentang ilmu sosial yang baku.
3.      Ilmu-ilmu tentang kemanusiaan yaitu ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia secara empiris, baik tingkah lakunya secara individu dan individu dalam kelompok.
4.      Posisi manusia itu sendiri dalam kajian ilmu tentang kemanusiaan adalah sebagai subjek sekaligus objek.
5.      Dalam bidang ilmu tentang kemanusiaan juga bersifat dinamis, artinya tidak ada teori yang defenitif dan berlaku sepanjang masa tentang manusia.




[1] C. Verhaak S.J dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989) Cet. 2 th. 1991, h. 66. Masa hingga sekitar akhir abad ke-18, di dunia Barat, baik dalam karya ajaran filsafat maupun dalam perkembangan ilmu pengetahuan, telah ditemui ilmu-ilmu pengetahuan  yang mempelajari tentang manusia. Ilmu  yang sudah menjadi bahasan pada masa ini, mengkaji tentang manusia diantaranya adalah :  sejarah, ilmu tentang hidup bernegara dan beragama, ilmu kedokteran, ilmu satra, ilmu hukum, ilmu bahasa, ilmu ekonomi, ilmu kebudayaan. Sebagai periode cikal bakal, maka pembahasahan dan pengkajian terhadap ilmu kemanusiaan dan Ilmu-ilmu sosial  maka corak dan bentuknya sangat jauh berbeda jika dibanding dengan yang ada pada dewasa ini. Pada perkembangan sebelum abad ke-19, keberadaan ilmu kemanusiaan belum begitu disadari. Hal ini disebabkan keterpanaan para ilmuan dalam pesona keberhasilan dan kegemilangan ilmu pengetahuan alam. Pada masa ini, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan kemanusiaan meniru cara kerja ilmu pengetahuan alam dengan begitu saja tanpa memperhatikan kekhasan dari objek bahasan ilmu itu sendiri.
[2] Ibid, h. 67.
Pada masa sebelum abad ke-19, dunia Barat berada pada masa kemuraman dan kebutaan. Kondisi ini disebabkan dominasi otoritas Gereja dalam kehidupan masyarat. Doktrin yang di usung oleh pihak gereja telah membatasi dan mengunci kreatifitas rasio pada saat itu, karena apapun aktifitas kehidupan harus berdasarkan legitimasi Pastur sebagai pimpinan tertinggi Gereja. Dalam sejarah juga kita dapat mengetahui, ada sebagian kelompok kecil masyarakat masa itu yang mencoba melawan arus atas dominsai pihak Gereja, yaitu para cendikiawan. Namun popularitas gereja mengalahkan ide yang di usung oleh sebagian kecil masyarakat cendikia, akhirnya banyak para ilmuan yang teguh pada pendiriannya harus berakhir di tiang gantungan. Perlu dicatat, pada masa kemunduran dunia Barat ini, pada belahan dunia lain, yaitu di derah timur di bawah kekuasaan kekuatan Islam,  justeru sedang mengalami masa keemasan dalam bidang keilmuan. Dalam sejarah dunia telah  tercatat kagemilangan yang dicapai dunia Islam pada masa daulah Umayyah di Cordova dan Daulah Abbasiyah di Andalusia.
[3] ibid
[4] Ibid, h. 68
[5] Ibid, h. 66
[6] Jujun, S. Suria Sumantri (Penj. & Ed.) Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta : PT Gramedia, 1978) cet. 8 th. 1989, h. 134
[7] Ibid, h. 135
[8] Ibid,
[9] Ibid, h. 136
[10] Ibid, h. 137-138
[11] Jujun, S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-17, th. 2003, h. 237-245
[12] C. Verhaak, op.cit, h. 66
[13] Ibid, h. 70
[14] Ibid, h. 71
[15] Ibid, h. 73, lihat juga Jujun, Ilmu dalam Perspektif, h   . 144-146

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Aku berfikir Aku ada