MOTTO :

junaidi678.blogspot.com :
TIADA HARI TANPA INOVASI

Minggu, 28 April 2013

Sejarah Pendidikan Islam Periode UMayyah



BAB I
PENDAHULUAN
Periodeisasi pada setiap tahapan sejarah dapat dilihat dari berbagai sisi. Penekanan pembahasan akan terfokus pada kaca mata yang digunakan dalam menatap sejarah. Berkaitan dengan sejarah Islam yang dipandang dengan kaca mata pendidikan, maka fokus pembahasan adalah sejarah Pendidikan Islam itu sendiri. secara garis besar, para sejarawan membagi tahapan sejarah kepada beberapa bagian, yaitu : (1) Periode klasik, (2) periode Modern, (3) Periode Kontemporer. Pada bahasan ini akan dikupas salah satu periode sejarah pendidikan Islam yaitu periode klasik. Tepatnya pendidikan Islam pada masa pemerintahan bani Umayyah.
Berbicara tentang sejarah pendidikan, seorang penulis dalam membahas sejarah pendidikan itu, tidak akan bisa melepaskan sisi-sisi lain dari sejarah itu sendiri, sebab semuanya merupakan suatu sistem sejarah yang saling memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu ketika membahas tentang Sejarah Pendidikan Islam, maka bahasan tentang perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya pada masa itu tidak bisa diabaikan.[1]
Dalam sejarah pendidikan Islam klasik, para ahli sejarah sepakat bahwa salah satu periodenya adalah pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Dinasti Umayyah merupakan dinasti peralihan dalam sejarah Islam. Peralihan ini maksudnya adalah pada masa ini adanya perubahan mendasar pada sistim ketatanegaraan negara Islam. Kita mengetahui bersama, bahwa sebelum masa bani Umayyah berdiri, sistem pemerintahan Islam adalah sistim pemerintahan yang demokratis. Keadaan ini dapat diketahui melalui proses pemilihan pemimpin negara pada saat itu. Sebelum masa dinasti Umayyah, pemimpin negara dipilih berdasarkan suara terbanyak oleh perwakilan ummat Islam. Pada masa dinasti Umayyah sistem pemerintahan telah berubah menjadi monarchiheredities yaitu sistim pemindahan kepemimpinan dan kekuasaan negara kepada anak keturunan dari raja itu sendiri.
Dalam berbagai literatur sejarah, banyak ditemukan bahwa awal berdirinya dinasti umayyah memiliki catatan yang sedikit kelam, kelamnya sejarah berdirinya dinasti ini memberikan dampak kepada stabilitas pemerintahan karena banyaknya pihak-pihak yang melakukan perlawanan dan berusaha memberontak.[2] Kondisi ini sedikitnya juga memberikan dampak kepada perkembangan pendidikan pada saat itu. Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dunia pendidikan, maka situasi politik pada masa dinasti Umayyah ini memberikan dampak kepada kurang berkembangnya dunia pendidikan.  Karena  hampir sebagian besar khalifah-khalifah yang berkuasa pada dinasti umayyah lebih banyak berkonsentrasi pada usaha menstabilkan suhu politik. Walaupun perkembangan dunia pendidikan mengalami adanya kemajuan, namun pendidikan lebih banyak berjalan secara alamiah tanpa adanya pengolaan resmi dari negara. Pendidikan khusus atau bisa dikatakan formal hanya dinikmati oleh kaum bangsawan, yaitu adanya sebagian khalifah yang mendatangkan guru khusus untuk mengajarkan anaknya berbagai disiplin ilmu. Kemudian, para bangsawan juga membuat tempat-tempat khusus untuk balajar anak-anak mereka sebagai salah satu usaha mempersiapkan figur yang siap menerima tampuk kekuasaan baik secara fisik maupun mental.[3]
Secara umum, dinasti umayyah mampu memajukan beberapa aspek kehidupan ummat Islam pada saat itu. Kemajuan ini ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga yang berfungsi secara profesional. Diantaranya adalah  dalam bidang administrasi, telah terbentuk lembaga administrasi pemerintah yang mendukung tampuk pimpinan dinasti umayyah. Di antaranya :
1.      Adanya pemisahan otoritas kekuasaan. Pada masa pemerintahan Umayyah telah terjadi pemisahan antara kekuasan politik dengan kekuasaan agama. Pada saat itu, kekuasaan politik di pegang oleh para khalifah sementara kekuasaan atau otoritas kegamaan dipegang oleh para ulama.
2.      Pembagian wilayah negara. Pada masa ini, wilayah kekuasaan terbagi pada 10 provinsi yaitu : Syiriya dan Palestina, Kuffah dan Iraq, Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, Armenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika utara), Yaman dan Arab Selatan, serta Andalusia
3.      Dalam bidang administrasi, pemerintah telah membentuk Organisasi tata Usaha negara yang dipecah dalam bentuk dewan-dewan. Departemen Pajak dinamakan Dewan al-Kharaj, Departeman Pos dinamakan Dewan Rasail, departeman yang menangani berbagai kepentingan umum dinamakan Dewan Musghilat, departeman dokumen Negara dinamakan  dengan Dewan Khatim.
4.      Organisasi Ketentaraan.
5.      Organisasi kehakiman dan lain-lain.[4]
 Dari penjelasan ini, setidak-tidaknya keberadaan dinasti Bani Umayyah sudah berperan dalam mengukir sejarah Pendidikan Islam dalam bagi perkembangan sejarah ummat Islam. Sebab pada masa ini juga telah terbentuk berbagai macam lembaga pendidikan Islam yang akan di kupas pada pembahasan selanjutnya.




[1] Hal ini memang sudah menjadi kesepakatan para ahli sejarah dala membahas sejarah dala kacamata tertentu. Salah satu contoh pembahasan tentang sejarah pendidikan di Indonesia, maka pendidikan itu tidak akan terlepas dari kondisi politik, sosial dan ekonomi. Sejarah pendidika Indonesia pada masa kolonial akan berbeda keadaannya dengan pendidika pad mas ordr lama, orde baru dan orde reformasi. Kondisi ini dikarenakan keadaan politik akan memberikan dampak yang begitu besar terhadap pendidikan itu sendiri.
[2] Dinasti umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H dan berakhir pada tahun 132 H. Dengan demikian dinasti umayyah berkuasa selama 91 tahun. Umumnya para ahli sejarah mencatat bahwa dinasti Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya.
[3] Salah satu penjelasan yang diberikan oleh Ahmad syalabi  adalah bahwa Abdul Malik Ibnu Marwan salah seorang khalifah dinasti Umayyah (685-705 M), pernah memberikan titah kepada pendidik puteranya : “ajarkanlah kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan al-Qur’an. jauhkanlah dari mereka orang-orang jahat, karena orang-orang jahat itu tidak mengindahkan perintah Tuhan dan tidak berlaku sopan. Dan jauhkan pula dari khamar dan pelayan-pelayan karena pergaulan dengan khamar dan pelayan-pelayan dapat merusak moralnya. Lunakkanlah hati mereka agar keras pundaknya. Berilah mereka makan daging agar mereka kuat. Ajarkanlah syair kepada mereka agar mereka kuat dan berani. Suruhlah mereka bersugi dengan melintang dan minum dengan menghirup dengan pelan-pelan, jangan diminumnya saja dengan tidak senonoh, dan bila kamu perlu menegurnya, maka hendaknlah dengan tertutup. Jangan sampai diketahui oleh pelayan-pelayan dan tamu-tamu agar ia tidak dipandang rendah oleh mereka. Lihat Ahmad Syalabi Tharîkh al-Tarbiyyah al-Islâm, (Judul Bahasa Indonesia : Sejarah Pendidikan Islam) Yogyakarta : Bulan Bintang, tt, h. 48-52
[4] Samsul Nizar (Editor) Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia ( Jakarta : Kencana, 2007) h. 57-60
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pendidikan Era Dinasti Umayyah
Secara ekplisit, visi dan misi pendidikan pada masa ini tidak ada, sebab pada saat itu belum ada pengistilahan dari visi dan misi sebagi salah satu dari komponen pendidikan. Secara inplisit, konsep visi dan misi itu telah ada, hal ini dapat dilihat dari berbagai macam upaya yang dilakukan oleh para khalifah pada saat itu. Karena ketegasan visi dan misi ini tidak ada secara tertulis, maka para ahli berusaha menterjemahkannya dari analisa-analisa. Abuddin Nata memberikan gambaran dari analisi yang telah ia lakukan bahwa visi pendidikan pada era Dinasti Umayyah adalah Unggul dalam ilmu agama dan ilmu umum sejalan dengan kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam.[5] Pandangan Abuddin Nata memberikan isyarat bahwa pada masa bani ummayyah sudah terjadi dikotomi pendidikan dengan membedakan adanya ilmu umum dan ilmu agama. Namun sesungguhnya pada saat itu tidak ada perbedaan  antara ilmu umum dan ilmu agama, karena sistem pendidikan pada saat itu mengisyaratkan bahwa peserta didik harus memiliki dasar Tauhid dengan mempelajari al-qur’an secara totalitas, harus memiliki keterampilan dan kelincahan fisik yang baik dan menguasa keilmuan agama yang lain secara baik.[6]
Misi pendidikan yang dapat ditangkap pada masa ini adalah antara lain:  (1) menyelenggarakan pendidikan secara seimbang antara keterampilan nalar dan kekuatan ruhaniah, (2) melakukan penataan kelembagaan pendidikan dan aspek-aspek pendidikan Islam, (3) memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh wilayah Islam secara merata, (4) menjadikan pendidikan Islam sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam, (5) memberdayakan masyarakat agar dapat memecahkan masalah sendiri.[7]
B.     Kurikulum Pendidikan Era Dinasti Umayyah
Kurikulum dalam artian seperangkat perencanaan yang akan  dilakukan guna mencapai suatu tujuan pendidikansudah terlaksana secara ekplisit pada masa ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai literatur sejarah. Philip K Hitti memberikan isyarat bahwa kurikulum yang ada pada saat ini adalah ilmu al-qur’an dan hadits –dibahasakan dengan ilmu agama serta ilmu tubuh atau ilmu kedokteran. Dijelaskan bahwa pada saat ini ilmu kedokteran masih dalam taraf yang primitif, walaupun analisa ini kurang objektif karena memandang ilmu kedokteran (tabib) yang berlaku pada zaman Islam klasik  dipandang sebagai kegiatan mistik.[8] Abuddin Nata, dalam hal ini mencoba menterjemahkan aktifitas kegiatan pendidikan pada masa ini. masalah ini dipaparkan dengan memberikan penjelasan bahwa kurikulum yang diterapkan pada masa dinasti Umayyah adalah : (1) Al-qur’an dan Hadits serta Fiqih,  (2) Ilmu sejarah dan Geografi, (3) Ilmu  Bahasa, (4) Filsafat[9]
1.      Al-qur’an dan Hadits serta Fiqih
Pendidikan al-qur’an dan hadits merupakan kurikulum yang mendasar bagi ummat Islam. Sejak periode rasulullah, sampai kepada akhir zaman, pendidikan al-qur’an dan hadits akan selalu menjadi perhatian bagi ummat Islam itu sendiri. pada masa bani Umayyah pendidikan al-Qur’an dan hadits sudah mengalami kemajuan yang lebih baik. Pendidikan al-Qur’an menjadi pedidikan utama yang harus diberikan kepada peserta didik. Abdul Malik Ibnu Marwan merupakan salah satu contoh khalifah pada dinasti Umayyah yang selalu berpesan kepada para guru dari anak-anaknya agar mereka diajarkan al-qur’an. termasuk juga khalifah Hisyam ibn Abdul Malik (724-743).[10] Pendidikan hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an pada masa ini sudah mendapat perhatian khusus. Pandangan tentang pentingnya pendidikan hadits terlihat pada keseriusan Umar bin Badul Aziz (salah seorang khalifah Bani umayyah yang mashur karena prestasi kepemimpinannya) dalam menyelamatkan hadits-hadits Rasul dari kehilangan dan pengaburan. Pada saat itu Umar bin Abdul Azis mengumpulkan para muhadditsin agar hadits dikumpulkan dan dibukukan. Sementara yang menjadi sasaran adalah seluruh ummat yang tedapat diseluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dirinya untuk mebangun kualitas kehidupan yang lebih baik.
2.      Ilmu sejarah dan Geografi
Kurikulum sejarah diajarkan bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada peserta didik tetang sejarah-sejarah terdahulu,  hal ini berguna untuk mengambil pedoman dari peristiwa yang telah terjadi untuk dijadikan acuan dalam melakukan tindakan selanjutnya. Terutama bagi para anak-anak raja yang akan menjadi pemimpin negara. Ilmu geografi juga mulai diajarkan oleh para raja kepada putra-putranya, seiring dengan semakin luasnya wilayah-wilayah kekuasaan Islam, sehingga para calon pemimpin negara dapat mengtahui dengan baik wilayah-wilayah Islam beserta karakteristik geografinya. Pada masa ini, kajian dan pendidikan tentang ilmu sejarah dan geografi merupakan awal perkembangan.[11]  Tokoh-tokoh ilmu sejarah yang cukup mashur pada saat ini adalah Ubaid Ibn Syarhah yang telah menulis beberapa buku sejarah dan yang terkenal adalah Kitâb al-Mulûk wa Akbâr al-Mâdîn (Buku tentang sejarah para raja dan ummat terdahulu).[12]
3.      Ilmu  Bahasa
Abuddin Nata memberikan penjelasan bahwa pendidikan bahasa yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Bani Umayyah ini meliputi ilmu Nahu dan Syaraf.[13] Pendidikan ilmu Nahu dan ilmu Syaraf ini di laksanakan untuk semua kalangan, karena bahasa ajaran agama Islam adalah bahasa Arab. Untuk memahami bahasa ini maka harus mengerti tentang ilmu Nahu dan Sharaf. Disamping itu giatnya pembelajaran bahasa Arab disebabkan adanya arabisasi dan reformasi administrasi negara. Peristiwa ini  terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibnu Marwan dan dan al-Walid. Pada  masa inilah, bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi negara.[14]  
4.      Filsafat dan Teologi
Kajian ini juga masih dalam bentuk cikal bakal. Adanya kajian teologi pada zaman bani Umayyah ini ditandai dengan munculnya aliran dalam Islam akibat adanya perbedaan pemahaman ajaran agama secara filosofis. Aliran itu adalah aliran Aqadariyah[15]. Selanjutnya lahir pula mazhab pemikiran Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washîl ibn Atha’ (w. 131 H)[16] yang dikenal sebagai kaum rasionalisme. Pengaruh yang dibawa oleh tokoh ini menjadikan langkah awal perkembangan filsafat pada masa selanjutnya. Sekte-sekte yang lahir pada masa ini bukan hanya muktazilah saja tetapi ada sekte-sekte lain yang muncul baik sebelum dan sesudahnya. Sekte-sekte itu adalah Qadariyah , Murji’ah dan Jabbariyah. Semua sekte-sekte ini juga berperan dalam perkembangan filsafat teologi.  Filsafat-filsafat lain juga sudah mulai berkembang pada zaman ini. Hal ini bisa dilihat dari telah adanya kegiatan penterjemahan buku-buku kimia dan kedokteran Yunani kedalam bahasa Arab yang pada saat itu masih dalam bentuk bahasan filosofis. Kegiatan ini bukan hanya sampai pada taraf peterjemahan saja, tetapi sudah ada pengkajian yang dilakukan oleh ummat Islam sehingga filsafat menjadi berkembang.
C.     Lembaga-lembaga Pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa sebelum dinasti umayyah tetap eksis ditengah masyarakat. Lembaga pendidikan itu adalah Kutab dan masjid-masjid.[17]
Secara garis besar, lembaga pendidikan yang ada pada masa ini dapat digolongkan pada dua jenis yaitu lembaga pendidikan eksklusif yang khusus untuk anak para raja atau khalifah dan pendidikan konvensional yang diisi oleh masyarakat umum dan para pecinta ilmu.
Lembaga yang termasuk kepada kategori ekslusif adalah Istana. Tempat ini  merupakan lembaga pendidikan rendah yang diperuntukkan kepada putra mahkota dan para bangsawan. Kemudian Badiah yaitu gurun pasir Arab Badui, tempat belajar putra mahkota tentang bahasa arab dengan kaidah yang benar, kemudian pada lembaga ini juga diajarkan katangkasan dan kesabaran, walaupun pada lembaga ini ada juga murid yang berasal dari rakyat biasa. Sementara lembaga pendidikan konvensional yang berkembang adalah al-Bimaristan dan perpustakaan. Berikut penjelasan tentang masing-masing lembaga pendidikan yang ada pada masa pemerintahan Bani Umayyah.

1.      Istana.
Sebagai salah satu bentuk usaha yang dilakukan oleh para khalifah dalam rangka mepersiapkan pengganti pemimpin negara, maka dilaksanakanlah pendidikan didalam istana. Pelaksanaan pendidikan di istana ini telah dilaksanakan pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik dengan mendatangkan seorang guru (mu’adib) keistana serta menetap disana. Dalam melakukan tugasnya, pihak istana memenuhi segala kebutuhannya dengan fasilitas yang khusus.
2.      Badiah
Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan yang muncul pada pemerintahan Abdul Malik dan al-Walid.[18] Kemunculan lembaga Badiah sudah ada sejak awal berdirinya dinasti Umayyah pada masa khalifah Mu’awiyah. Seiring  dengan adanya kebijakan Arabisasi negara. Pada saat itu semua birokrasi dan administrasi negera harus menggunakan Bahasa Arab. Para raja dan pejabat negara, dalam rangka menyiapkan generasi pengganti kekuasaan, berusaha untuk memberikan pelajaran bahasa Arab yang benar, maka eksistensi lembaga ini lebih berperan. Badiah secara bahasa berarti Dusun Badui di Padang sahara yang penduduknya menggunakan bahasa Arab murni yang sesuai dengan kaidah. Untuk lembaga ini, karena dapat dijadikan sebagai sumber dalam memamahi bahasa Arab dengan benar, maka yang belajar ketempat ini bukan hanya para penguasa, tetapi ada juga para ulama. Para ulama ini mempelajari bahasa Arab disini bertujuan untuk memahami bahasa arab dengan benar sebagai bahasa pemersatu ummat Islam dan bahasa al-Qur’an.
3.      Perpustakaan  
Perpustakaan merupakan salah sentralnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pada pustaka inilah banyak pengkajian dan pembelajarn dilakukan, termasuk didalamnya menterjemahkan buku-buku Yunani yang lebih awal mengalami kemajuan bidang ilmu pengetahuan. Pada masa-masa selanjutnya kita akan mendapati banyknya tokoh-tokoh intelektula Islam yang mengawali karirnya dari perpustakaan. Pada zaman dinasti Umayyah, perhatian terhadap eksitensi perpustakaan sudah mengalami peningkatan. Al-Hakam ibn Nasri (350 H/961 H) telah mendirikan perpustakaan yang sangat besar di Kordova Spanyol. [19]
4.      Al-Baristan merupakan rumah sakti tempat orang berobat. Selain dari tempat berobat ternyata tempat ini berfungsi sebagai tempat peraktik lapangan dan penelitian bagi calon dokter. Khalid ibn Yazid (cucuk Mu’awiyah) merupakan salah seorang dari kelurga Istana bani Umayyah yang memiliki perhatian tinggi dan tertarik kepada ilmu kimia dan kedokteran. Abuddin Nata memberikan penjelasan bahwa dengan wewenang yang ada padanya, ia menyediakan dana dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menterjemahkan buku Kimia dan Kedokteran kedalam bahasa Arab. Selanjutnya khalifah Walid ibn Marwan merupakan khalifah yang memberikan perhatian tinggi terhadap al-Baristan.[20]  
D.     Tenaga Kependidikan
Dalam bidang tenaga kependidikan, tenaga yang di pakai adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam bidang keilmuan. Secara umum, yang menjadi tenaga pendidik pad masa ini adalah para ahlu qurra (pembaca dan penghafal al-qur’an), sebab dari mereka inilah kegiatan transformasi dan penanaman pehaman agama yang baik kepada ummat Islam.[21]
Selanjutnya, pada masa ini juga muncul lembaga pendidikan istana. Pada lembaga ini yang menjadi tenaga pendidikannya adalah guru yang di tentukan oleh pihak istana dan guru itu menetap disana. Tugas pembinaan yang harus ia lakukan ditetapkan oleh khalifah. Biasanya tugas mereka bukan hanya sekedar mengajarkan menulis dan membaca, tetapi juga mengajarkan akhlak, tradisi dan etika istana. Guru yang didatangkan keistana ini disebut dengan istilah mu’addib. Muaddib  ini kebanyakan berasal dari kalangan ulama walaupun ada sebagian diantaranya yang berasal dari tawanan perang.[22] Disamping itu, al-Baristan yang juga merupakan salah satu lembaga pendidikan pada masa ini, tenaga pendidiknya adalah para dokter dan tenaga Medis.[23]
E.      Pengelolaan Pendidikan
Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Wilayah itu bukan hanya sekedar meliputi jazirah Arab, tetapi sudah sampai ke Eropa dan Asia. Kekuasaan yang begitu luas akan memberikan dampak terhadap kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh kepala negara. Dalam bidang pendidikan, kebijakan ini diambil terwujud dalam bentuk adanya desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan. Yaitu pemerintah pusat hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan konseptual, sementara teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah-daerah. Jika di tela’ah, kebijakan ini bertujuan untuk mengakomodir semua kebutuhan pendidikan pada setiap daerah-daerah kekuasaan Islam yang begitu luas. Masyarakat Mesir akan berbeda pola dan kebutuhan pendidikannya secara khusus dibanding dengan orang Eropa dan seterusnya. Salah satu contoh kibijakan umum ini dapat dilihat pada masa pemerintahan al-Malik dan al-Walid ( yang pada saat itu diberlakukannya Arabisasi kekhalifahan), maka dalam melaksanakannya, pemerintah hanya menentukan kebijakan itu saja, yaitu bahasa resmi negara adalah bahasa Arab. Kebijakan ini akan berdampak kepada sistem pendidikan, yaitu pada msaing-masing daerah harus diajarkan bahasa Arab. Tentang bagaimana teknis pelaksnaannya diserahkan kepada masing-masing daerah itu sendiri.[24]  
F.      Lulusan (Out Put)
Pada zaman ini, kondisi ummat Islam sudah berada pada generasi ketiga sesudah Rasulullah. Para peserta didik memeperoleh pendidikan dan pengajaran dara para sahabat rasul. Yaitu orang yang pernah bertemu dan belajar langsung kepada Rasulullah. Sesuai deng kondisinya, maka lulusan atau out put dari sistem pendidikan yang ada pada masa bani Umayyah adalah para tabi’în.
G.     Khasanah Intelektual Islam pada Era Dinasti Umayyah.
Pada masa ini bisa dikatakan sebagai masa awal berkembangnya trasisi intelktual dalam sejarah Islam. Kondisi masayarakat yang beru keluar dari budaya dan tradisi jahiliyah, menjadikan labatnya perkembangan dinamika intelktual. Namun bibit-bitinya sudah tersebar. Dalam berbagai sumber dijelaskan bahwa di kota kuffah dan bashrah telah berkembang tradisi intelktual dalam dunia Islam. Di Bashrah, yang menjadi ibu kota salah satu provinsi, kajian ilmiah tentang tata bahasa Arab telah dimulai. Di Kuffah, yang sebagian besar penduduknya adalah dari golongan pendukung Ali, (Syi’ah), telah terjadi perkembangan dalam pengkajian hadits. Dari kota ini muncul salah seorang ahli hadits yang sangat terkenal yaitu ‘Amr ibn Syharil al-Sya’labi. Al-Sya’labi ini telah mendengar hadits Nabi dari 150 orang sahabat Nabi, seluruh hadit itu hafal didalam kepada tanpa mengubah redaksinya sedikitpun. [25]
Disamping itu juga, pada masa ini telah terjadi kajian terhadap historiografi bangsa Arab yang dimulai pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah. Munculnya buku Kitâb al-Mulûk wa Akhbâr al-Mâdîn karya Ubayd ibn Syarhah adalah salah satu buktinya.   



[5] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 92
[6] Philip K. Hitti menuliskan bahwa putra-putra khalifah bani Umayyah biasanya disekolahkan ke bâdiyah, gurun Suriah untuk mempelajari bahasa Arab murni dan mendalami puisi. Salah satu yang dikirim kedaerah ini adalah Yazid, putra Mu’awiyah. Pada tempat ini mereka juga diajarkan cara berenang dan menggunakan busur panah. Nilai-nilai utama yan ditanamkan dalam pendidikan adalah keberanian dan daya tahan saat ditimpa mushibah (Shabr), mentaati hak dan kewajiban tetangga (jiwâr), menjaga harga diri (murû’ah), kedermawanan, keramahtamahan, penghormatan terhadap kaum perempuan dan pemenuhan janji. Lihat philip K. Hitti, History of the Arab, (New York : Palgrave Macmilan, 2002) h. 315-320
[7] Loc.cit
[8] Loc.cit
[9] Abudin Nata, op.cit, h. 134
[10] Ahmad Syalabi, op.cit,  h. 48-52
[11] Philip K. Hitti, op.cit, h. 304-306
[12] Ibid, h. 305
[13] Loc.cit
[14] Dijelaskan bahwa pada masa kepemimpinan ‘abdul Malik dan al-Walid terjadi Arabisasi kerajaan. Arabisasi ini meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik (dewân) dari bahasa Yunani kedalam bahasa Arab di Irakdan provinsi bagian timur, serta penerbitan uang logam Arab. Lihat Philip K. Hitti, op.cit, h. 270-271. Selanjutnya juga dijelaskan dalam buku ini pada h. 300-301
[15] Qadariyah dikenal dengan ssebagai mazhab pemikiran paling awal dalam Islam, ibid, h. 308. Yaitu salah satau mazhab pemikiran yang memiliki pemahaman bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan sudah menjadi keputusan Allah yang tidak bisa diganngu gugat, karena Allah adalah zat yang maha memberi keputusan, sementara manusia berperan sebagai makhluk yang hanya bisa menjalani apa yang telah diputuskan Allah.
[16] Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya (bid’ah disini diartikan sesuatu yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi), ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.(http://asysyariah.com/sejarah-munculnya-mu%E2%80%99tazilah.html, diakses tanggal 29 Desember 2012)
[17]Kutab merupakan lembaga pendidikan yang khusus membidangi tentang pendidikan menulis dan membaca. Lembaga ini pada masa sebelum kedatangan Islam merupakan tempat belajar menulis dan membaca oleh bangsa quraisy.  Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula belajar sampai pandai menulis dan membaca adalah : Syofyan ibn Umayyah ibn Abdu Syam dan Abu Qais ibn abdi Manaf ibn Abdil Malik. Setelah kedatangan Islam, lembaga ini juga berfungsi sebagai tempat belajar al-Qur’an. Ahmad Syalabi, op.cit, h. 33-47. Selanjutnya masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Pada lembaga ini diajarkan berbagai ilmu, seperti al-Qur’an, Hadits Fiqih dan lain sebagainya.
[18] Philip K. Hitti, op.cit, h.
[19] Abuddin Nata, op.cit, h. 136-137
[20] ibid
[21] Philip K. Hitti, op.cit, h. 317
[22] Lihat Abuddin Nata, op.cit, h. 137-138, bandingkan dengan Philip K. Hitti, ibid, h. 316-317
[23] Ibid, 138
[24] Ibid, 140-141
[25] Philip K. Hitti, op.cit, h. 300-306
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapatlah disimpaikan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah pendidikan sudah mengalami perkembangan dan dapat dikatakan sebagai awal perkembangan kepada pendidikan yang lebih profesional. Hal ini bisa dilihat dengan :
1.      Pendiddikan secara eksplisit sudah memilki Visi dan Misi. Untuk merealisasikan visi dan misi, maka telah ada pada waktu itu kurikulum, kelembagaan pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan lulusan pendidikan (out put). Adanya komponen-komponen ini dapat dilihat dari berbagai aktifitas pendidikan yang dilakukan pada saat itu. Namun kesemuanya tidak diatur dan secara inplisit.
2.      Pendidikan yang diajarkankan pada masa ini adalah mengenai ke-Islaman, seperti Tauhid, fiqih dan lain.lain. disamping itu juga sudah ada kajian-kajian pengembangan dinamika intelektual walaupun baru sebatas cikal-bakal.
3.      Pada masa ini perkembangan bahasa Arab dengan kajian intelektual juga sudah dimulai, hal ini ditandai dengan banyaknya para keluarga istana serta para ulama yang menuntut ilmu tentang kaidah bahasa Arab yang benar.
4.      Cikal-bakal modernisasi dunia pendidikan telah muncul seiring adanya lembaga al-Baristan. Lembaga ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat belajar teori keilmuan, tetapi juga sudah menjadi tempat peraktik lapangan bagi para calon dokter. Disamping itu, al-Baristan juga sudah menjadi semacam laboratorium bagi para dokter pada saat itu. 


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Aku berfikir Aku ada